Selasa, 31 Desember 2013

DIALOG AKHIR TAHUN

Ingin kuputar kembali, 2013 yang akan pergi untuk kita renungkan.
Andai semua yang terjadi, ga akan habis di duaributigabelas.

Memang 2013 akan berakhir mungkinkah kau selalu mengingat ku disini.
(Dan) bila semua itu kau rasa, mungkin aku pun berubah untuk dapatkan semuaaaa (panjang).

C! yang pernah singgah.
C! yang dulu ada.
C! yang kau rasa.
Tks yang ngebatalin naik.


Salam,
-GJG-

HINGGA 31 DESEMBER

Tarakan, 31 Desember 2013

Hey semua!
Kabar gembira sekaligus posting pemaksaan. Blog-ku yang uda mencapai 48 artikel nampak lebih trendi dan mencapai target produksi serta uda resmi naek cetak. Berbagai topik uda aku tulis yang mana itu bersumber langsung dari otak kecilku ini, kadang ada masukan dari obrolan-obrolan atau diskusi hangat dengan kawan-kawan sejawat, (tuh aku cantumin nama kalian padal untuk nyenengin kalian doang). Bukan ding, tapi aku berusaha untuk jujur dalam nulis, soalnya kalo dikehidupan aku uda keseringan boong! Bosen juga sih boong, ga dapet apa-apa, tapi kalo jujur malah dapet cercaan.

Uda aaah buruan baca ya, ini perintah! Bukan permintaan. Hhh…
Dijamin wawasan bertambah dan isinya ga ngebosenin. Bisa dibaca di waktu senggang sambil kalian bercinta di bale-bale, di bawah rindangnya pohon karet, mengunyah snack pillows yang renyah sebagai camilan, dan jangan lupa bir hitam penawar dahaga.

Tau-tau blog uda selesei dibaca dan setelah itu kalian pasti akan langsung mendaftar di GJG Fans Club (canda-canda!). Kalau uda baca dan koreksi, kirim komentar dan kritik kalian yang sepedas dan selezat kripik sanjai itu ya. Jangan lupa!


Salam ada udang dibalik batu,
-GJG-

Jumat, 27 Desember 2013

KAWAN LAMA (lama banget)

Udah 1 tahun, tapi gw selalu ngerasa seperti baru kemaren maen ma dia. Ya gw masih bisa inget secara detail bentuk senyumnya, cara dia ketawa, lubang idungnya yang gede (hhh), pokoknya sifat ama kelakuannya gw inget seperti baru kemaren sore gw ngeliatnya.

Cewek itu ngakunya 80% cowok, 20% cewek, penggila musik punk, skater and harajuku. Mulutnya gak pernah berhenti ngoceh “Gw ini kayak gini…Gw ini kayak gitu..dan tetek bengek lainnya tentang dia!.” Najis.

Kalo lagi jalan, tuh tangan ga pernah absen tiap lima menit buat juntrungin kepala, atau dorong badan gw, atau seengaknya iseng nempelin upilnya kebaju gw. Sinting juga, kadang gw bales dengan yang lebih sadis kayak bilang, “Perut lu buncit banget sih, lu lagi hamil ya? Itu selulit kapan mau lo iris?”. Walhasil kata-kata penduduk kebun binatang dan alam gaib keluar!. Anjing, babi, monyet, setan, dedemit, tuyul. Pokoknya ancuuuuuurrrrr, kayaknya ni cewek produk reject a.k.a gagal.

Sebenernya gw males bilang ini, soalnya lebay, tapi nyata: “Ga ada yang bisa ngerubah seseorang se-efektif CINTA, prettt..”. Suatu hari dia bilang dia suka seseorang, cowok, dia bilang dia jatuh cinta. Huahahaha, gw ngakak abies, gw bilang “Yang bener lu? Monyet kebun binatang mana yang lu taksir? Huahaha, cewek kayak lu jatuh cinta? Apa kata akherat?!” Asli lho gw digampar!, abis itu dia ngeloyor pergi. Gila sakit banget pipi gw waktu itu.

Malemnya dia nelpon, gw kira dia mau minta maaf, tapi ga taunya curhat, sampe pagi. Padahal paginya gw musti garap data ke MJ, tapi seperti biasa dia ga mau tau, dia taunya besok pagi dia yang libur, titik. Dia bilang pas tadi mau beli komik jepang conan, dia ketemu sama cowok yang mirip Miyavi, artis punk Jepang yang apalah gitu, mana gw tau, karena satu-satunya artis jepang yang gw tau itu cuma Miyabi. Dia bilang dia kenalan, terus diajak makan sambil ngobrol-ngobrol tentang conan, jepang, ama lain-lain yang katanya nyambung banget. Dia bilang cowok itu ada keturunan jepang juga, cuteee bangettt, bikin gw tambah bete karena inget jam segitu harusnya gw uda pules tidur, mungkin aja bisa dapet bonus mimpiin Laura Basuki ama Tika Putri.

Siangnya gw disatronin di salah satu kampus di ringroad YK tempat gw sekolah. Tepatnya tempat gw ama dia menuntut ilmu sebagai mahasiswa kebanggaan bangsa. Tumben juga dia kerajinan dateng pas libur, padahal biasanya jangankan libur, schedule masuk aja dia suka ga dateng. Tapi untunglah dia datang pas rame jam makan siang, jadi gw ga perlu langsung dengerin ocehannya. Tapi dia nunggu gw loh sampe selesei bimbingan jam empatan sore gitu. Sial.

Baru aja nongol keluar rektorat setelah bmbingan TA gw kelar, tangan gw langsung diseret ke parkiran untuk buruan keluar menjauhi kampus dan memasuki restoran pizza yang agak jauh dari situ. Gw pikir asik nih dapet pizza gratis, kebetulan gw emang laper.

Hmmm, ada yang beda dari dia, perasaan dari tadi nyengir mulu ama gw, gw curiga.
“Mau pinjem duit lu?” selidik gw.
“Enak aje, gw juga punya duit!” bentaknya.
Dan here we go again, gw ngedengerin lagi curhatannya yang sebenernya uda gw denger semaleman suntuk, tentang cowok indo jepang yang cute-nya setengah mampus, yang punya koleksi conan lengkap mampus, yang bisa bahasa jepang mampus. “Ya iyalah, turunan kuntilanak kayak lu aja bisa basa jepang, apalagi dia yang turunan jepang, dasar dongo!”, pikir gw dalem hati karena kalo gw ucapin, acara nyuap ama ngunyah pizza gw bisa keganggu ama cocotnya yang faseh banget ngucapin nama-nama binatang dan mahluk alam gaib.

Lalu gw baru bisa konsentrasi dengerin dia pas dua bunderan gede pizza menghilang dari hadapan karena sukses mengungsi keperut gw. Pokoknya intinya terakhir gw denger dia minta bantuan gw untuk bisa dapetin itu cowok.
“Lu serius?” Tanya gw serius.
Dia membuat symbol victory di tangannya yang masih penuh dengan remah-remah pizza dan meletakannya tepat didepan muka gw.
“Kalo lu mau dapet cowok, lu musti bisa jadi cewek yang normal!” Lanjut gw.
“Hah, maksud lu apa neh?” balasnya sewot.
Gue ketawa…

TO BE CONTINUED...my fiction!


Cheers,
-GJG-

Sabtu, 21 Desember 2013

KEBEBASANNYA PEREMPUAN

22 Desember ya??

Heavy Motherday, my mom, woman, and you!
Momentum nih ya makanye gw coba numpahin tentang wanita alias perempuan yang biasa disebut cewek tapi kalo belum nikah istilahnya gadis.

Ga berasa, ternyata udah 108 tahun berlalu sejak R. A. Kartini meninggal (aaah masasih?). Ya, siapa yang ga mengenal sosok seorang perempuan yang mati-matian memperjuangkan kesetaraan pendidikan dan hak-hak para wanita di Indonesia ini? Gw cukup yakin siapapun pasti setidaknya pernah mendengar nama itu. Semasa hidupnya dulu, Kartini yang merupakan seorang anak dari keluarga aristokrat di Jawa ini selalu berjuang untuk bisa keluar rumah. Maklum, pada masanya, seorang perempuan dituntut untuk menguasai segala pekerjaan rumah dan hanya bekerja di rumah saja. Apalagi ia terlahir di keluarga yang masih sangat memegang budaya pingitan jawa. Padahal sebagai seorang gadis remaja ia pun ingin merasakan rasanya bermain dengan teman-teman sebayanya. Kartini ingin belajar di sekolah umum. Kartini ingin menyesap sedikit hawa kebebasan.

Berbicara tentang kebebasan, apa benar kalian, para wanita, adalah manusia yang bebas? Apa benar kalian memiliki kendali penuh atas segala yang dapat kita lakukan? Pasalnya, seringkali kebebasan tersebut kembali terbentur dengan budaya, usia, serta faktor-faktor lainnya. Lalu manusia pun kembali menjadi makhluk yang terbatas.

Katanya perempuan masa kini harus bisa mandiri. Dulu pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang mulia, kodrati perempuan. Sekarang mereka berlomba-lomba untuk berkarir setinggi mungkin, bahkan kadang sampai menunda kelahiran seorang anak karena menjadi penghambat mobilitas orangtuanya. Mereka yang bekerja sebagai ibu rumah tangga juga terkadang merasa minder karena profesinya yang HANYA sebagai seorang ibu rumah tangga. Jadi apa yang harus dilakukan oleh seorang wanita? Menjadi wanita dengan karir yang menjulang namun rumah tangga nol besar? Atau harus cukup puas dengan hanya mengurus anak dan suami di rumah?

Tanpa sedikitpun maksud untuk mempromosikan salah satu provider handphone tertentu, gw akan mengutip kata-kata dari iklan yang menurut gw cukup menarik dan cerdas.
"Kebebasan itu omong kosong. Katanya aku bebas berekspresi, tapi selama rok masih di bawah lutut. Hidup ini singkat, mumpung masih muda nikmati semuanya, asal jangan lewat dari jam 10 malam. Katanya, urusan jodoh sepenuhnya ada ditanganku. Asalkan sesuku. Kalau bisa kaya, pendidikan tinggi, berasal dari keluarga baik-baik... Katanya jaman sekarang pilihan itu ga ada batasnya, selama ikutin pilihan yang ada."
Jadi, gimana hasil perjuangan R. A. Kartini? Apakah dengan adanya emansipasi wanita manusia menjadi lebih bebas? Apakah dengan kebebasan tersebut hidup para perempuan lebih mudah? Belum tentu. Mungkin selama-lamanya para wanita akan dihadapkan dengan kenyataan demi kenyataan yang dilematis mengenai kebebasan yang mereka miliki :)

Penutup, gw bakal inget-inget pesan nyokap ke mpok-mpok gw. Nih katanye:
"Terserah deh ya, tar kalian bakal berkarier atau berumah tangga, tapi seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas." Tks.
*Ketawain ajadeh kalo tar ada yang copy-paste*


Salam,
-GJG-

Selasa, 17 Desember 2013

KEJAMNYA MAJOR LABEL

Ini catatan dibawah sangat panjang, supaya bisa jelas. Sesungguhnya catatan ini hasil dari diskusi gw sama beberapa pemusik di Yk (Stupid Again, DOM 65, Morning Horny, dan Monkey Bussiness) dan Kaltim (Kaos Kutang) serta masukan paling terlengkap yaitu dari Wenz Pratama (kawan SMA gw yang sekarang berkarya di Trax fm dan RollingStone Magazine).


Kawan-kawin, kita uda nyampe nih di era baru industri musik.
Era dimana label rekaman melancarkan strategi terkejam dalam sejarah industri musik di tanahair: Menguasai artis dengan jalan mengelola karir mereka. Istilah populernya mereka melakukan ekspansi bisnis dengan cara membuka divisi Manajemen Artis di label rekaman.

Gw adalah salah seorang yang ga setuju dengan berdirinya manajemen artis dalam sebuah label rekaman. Gw punya argumentasi yang kuat untuk ini. Label rekaman itu INKOMPETEN untuk urusan manajemen artis dan nantinya gw yakin malah bakal ngerusak tatanan industri musik yang selama ini otonom dari tiga belah pihak terkait (artis, manajemen, label).

TOLONG BERKENAN BACA SAMPAI LANJUT... NANGGUNG ITU GA HALAL, hhh...

Bisnis utama label rekaman adalah jualan kaset, CD, RBT, dsb. Semua yang berhubungan dengan rekaman musik. Dari nama saja sudah jelas: Perusahaan Rekaman! Akhirnya ketika mereka membuka divisi baru (Artis Manajemen) gampang ditebak kalo kerepotan dan berbagai kebodohan dalam urusan manajerial artis bakal terjadi di sana. Mulai dari SDM yang mereka miliki butut hingga praktek-praktek jualan band yang obscure. Karena mereka masih "belajar" maka jangan cari profesionalisme manajemen artis di dalam major label :)

Conflict of interest tingkat tinggi juga bakal terjadi di dalam band ketika manajernya bingung harus membela kepentingan yang mana nantinya (artis atau label?). Secara manajer lama kemungkinan besar bakal ”digaji” oleh label dan nanti hanya akan menjadi sub-ordinat dari manajemen baru.

Gara-gara pembajakan musik yang makin gokil (bahkan konon direstui negara) dan menurun drastisnya penjualan album fisikal, akhirnya mereka mengambil jalan pintas mendirikan manajemen artis yang ujungnya lagi-lagi merugikan artis nantinya. Label bukannya bersatu memerangi pembajakan namun malah berkomplot untuk mengeksploitasi artis habis-habisan agar mereka bisa terhindar dari kebangkrutan.

Biarkan artis yang bangkrut, tapi jangan labelnya! Kira-kira kasarnya begitu. Sekali lagi artis adalah obyek penderita nomor satu nantinya. Detailnya kira-kira seperti di bawah ini.

Ini prediksi yang bakal terjadi di masa depan dengan ”artis-artis baru” yang kontrak dengan major label yang memiliki divisi manajemen artis:
  1. Masa depan karir band baru akan tergantung dari label rekaman, bukan berada di tangan manajemen lama atau artisnya sendiri.
  2. Tumpulnya peran dan kontrol manajemen artis yang lama dalam membela kepentingan-kepentingan artis. Manajemen lama akan menjadi sub-ordinat dari label dan kemudian hanya berfungsi sebagai baby-sitting artis. Semua fungsi kontrol dan decision making artis akan terpusat kepada label sebagai investor. Manajer lama tidak punya hak karena mereka tidak invest apapun. Kemungkinan besar mereka akan disingkirkan dengan jalan "pembusukan". Mempengaruhi artis dengan iming-iming kesuksesan di industri musik.
  3. Kontrol yang sangat ketat dalam proses kreatif dan menciptakan musik berakibat hilangnya idealisme artistik & estetis karena artis hanya akan diperbolehkan menciptakan musik-musik yang tengah disukai oleh pasar yang tidak cerdas. Sejuta band sendu diprediksi akan terus membanjir di industri musik kita, karena benar kata Efek Rumah Kaca (ERK) kalo telinga rakyat yang melayu mendayu-dayu :)
  4. Berkurang secara signifikannya pemasukan bagi artis karena mereka harus share profit selain dari royalti mechanical, live show, merchandise, touring, advertising, publishing dan sebagainya. Hal yang belum pernah terjadi sebelumya. It's a very big, big, big LOSS, ladies & gentleman!
  5. Buruknya lagi, kalau artis baru nanti terlalu blo'on, maka tingkat eksploitasi akan diperkejam lagi hingga nama band dipatenkan oleh label, internal band akan dikontrol langsung pihak label, penggelapan royalty, sales report yang culas hingga berlakunya sistem bodoh dengan label menggaji para artis. Jika selama ini kita memandang artis sebagai seniman dengan talenta yang tidak ternilai maka selanjutnya kita akan dipaksa memposisikan artis tak lebih dari "kuli musikal". 
Strategi ”mega-eksploitatif” ini memang hanya diberlakukan bagi band-band baru yang ditawarkan kontrak rekaman oleh major record company. Contoh paling konkret misalnya terjadi pada Nidji, Letto (Musica), The Changcuters, Repvblik dan Vagetoz (SonyBMG Indonesia), Kangen Band (Warner), Tahta (EMI), dsb. Semuanya memang memiliki deal-deal yang berbeda satu sama lain. Maksudnya tingkat eksploitasinya berbeda-beda. Ada yang parah dan ada yang parah banget. Gw sempat mendengar ada satu band yang dipotong komisinya sebesar 45% (gross) setelah join dengan manajemen artis major label.

Band yang hadir dengan strategi yang brilian dan sangat berhasil di awal karirnya adalah St. Loco yang melakukan master licensing deal dengan Universal Music Indonesia. Mereka membiayai sendiri produksi rekaman dan kemudian menjalin kerjasama promosi & distribusi dengan major label selanjutnya. Ke depannya deal seperti ini nantinya akan menjadi ”favorit” para manajer artis (tentu bila mampu).

Pastinya, label rekaman tidak akan menawarkan strategi keji ini kepada band-band lawas/senior karena bargaining position mereka sudah sangat kuat. Selain brand mereka sudah dikenal luas, pengalaman dan pengetahuan bisnis musik yang sangat memadai, fanbase yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap positioning mereka di industri musik. Label sendiri kadangkala melihat artis-artis lawas sebagai ”uzur,” ”grace period” atau sudah rendah ”selling point”nya.

Itulah kenapa akhirnya label rekaman besar hanya akan memburu band-band/artis baru yang masih hijau, yang minim pengetahuan bisnis musiknya dan belum paham peta/konstalasi industri musik lokal. Selain bakal gampang dibodohi dengan kontrak yang sangat eksploitatif mereka juga akan dipengaruhi iming-iming "fame & fortune" di industri musik. Padahal belum tentu bakal "booming" juga :)

Jika Anda saat ini berada di sebuah band baru dan ditawarkan kontrak rekaman dari major label maka jangan terburu-buru tergiur dulu! Imej bergengsi major label tidak akan banyak memberi keuntungan. Yang terpenting adalah deal-nya, bukan masalah major atau indie label-nya. Pelajari dulu dengan seksama kontraknya, undang pengacara kenalan Anda untuk membedahnya, konsultasi dengan band-band lain yang sudah berpengalaman.

Sudah banyak kasus terjadi sebelumnya. Band-band baru menandatangani kontrak rekaman jangka panjang dengan major label dan akhirnya menyesal. Ketika bandnya booming dan banyak menerima job manggung beberapa ada yang melakukan ”resistensi” konyol dengan tidak menyetorkan komisi kepada label sesuai perjanjian. Menjadi konyol karena setelah kontrak rekaman itu ditandatangani maka konsekuensi-konsekuensi di belakangnya seharusnya sudah kita tahu sejak awal. Oleh karena itu jangan ikut mengantri di barisan kebodohan. Empowered yourself!

Cara kerja label juga akan lebih mirip jarum suntik nantinya. Sekali pakai langsung buang, disposable. Artis-artis baru tidak akan ada yang didevelop untuk panjang umur karirnya, mereka hanya akan disupport demi "popularitas maksimal dua atau tiga album saja!" Setelah booming besar dan untung besar, siap-siap menuju ladang pembantaian. Setelah dibantai maka dicari lagi talenta baru. Kalau kita jeli fenomena seperti ini sebenarnya telah terjadi sekarang ini di Indonesia.

Label besar sejatinya nanti hanya akan menjadi pusat manufaktur band! :) Kita tidak akan menemukan lagi band-band awet populer seperti Slank, Gigi, Netral, Dewa19, Naif di masa depan nantinya. Semuanya hanya akan "easy come, easy go!"

Tapi kalo ada yang bilang label membuka manajemen artis bakal membunuh pula profesi manajer artis individual/otonom, gw sama sekali nggak setuju. Gw justru nggak melihat kalau manajer-manajer artis yang independen itu bakal tergusur atau kehilangan pekerjaan. Ini analisa yang terlalu sembrono. It's not the end of the world as we know it :) Negara ini punya lebih dari 200 juta penduduk. Yang pengen jadi artis, bikin band dan gilpop (gila popularitas) setiap harinya pasti bertambah ribuan. Justru segudang talenta ini menjadi market yang sangat potensial bagi manajer-manajer artis untuk dikelola.

Manajemen artis yang individual atau berbentuk firma masih akan sangat dibutuhkan dan berperan penting di sini nantinya. Perkembangan teknologi yang gokil belakangan masih menjanjikan masa depan yang cerah buat band-band yang tidak dikontrak major label lokal/internasional a.k.a indie. Hadirnya MySpace, YouTube, Multiply, Ning, iTunes dan perangkat musik digital lainnya sangat memungkinkan untuk mencetak artis besar via jalur alternatif. The Upstairs sendiri udah membuktikan hal ini sebelumnya.

Apalagi tren terbaru di Amrik dan Inggris sekarang rata-rata artis bernama besar malas memperpanjang kontrak rekaman mereka dan memilih hengkang dari major label. Prince, Madonna, Radiohead, NIN adalah para pelopor ”gerakan kembali ke indie” ini. Mereka justru mempercayakan manajemen artis mereka yang independen untuk berfungsi pula sebagai "label rekaman". Cepat atau lambat gue pikir band-band besar di Indonesia akan mengambil langkah yang sama nantinya. Naif, Endank Soekamti, dan Netral malah sudah membuktikannya..... dan mereka cukup berhasil! Salute!

Masih adakah jalan lain? Ada banget! Di dalam negeri sendiri sudah ada yang mempelopori ”penggratisan musik.” Album rekaman kini telah berubah fungsi menjadi sebuah ”marketing tool” untuk menjaring job manggung. Mungkin inilah masa dimana musisi tidak lagi memikirkan royalti rekaman! Bisa jadi kalau teknologi kloning nanti sudah semakin sempurna maka ini berarti ancaman besar! :)

Koil menjadi pionir dengan menjalin kerjasama dengan majalah musik untuk mendistribusikan album terbarunya (Blacklight Shines On) secara gratis. Selain itu mereka juga memberi akses download album gratis via website/mailing list musik. Ide Koil ini memang tergolong baru walau sebenarnya tidak original juga. Prince bulan Juni lalu lebih dulu mengedarkan 3 juta keping album terbarunya secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.

Memang perlu dipelajari lebih lanjut lagi apakah strategi ”penggratisan musik” ini nantinya bakal merugikan atau malah menguntungkan. Yang pasti band-band baru tidak akan memiliki ”keistimewaan” seperti Koil jika mau mengambil strategi serupa.

Yang menarik lagi, sempat ada pertanyaan di bawah ini yang datang ke gw ketika jadi pembicara di sebuah tongkrongan beberapa bulan lalu:
Bagaimana dengan marak terjadinya kasus manager-manager artis individual/otonom yang tidak profesional atau bermasalah? Katakan saja menipu artisnya, melakukan penggelapan keuangan, dsb.
"Nah, untuk poin di atas sebenernya gw jamin ga akan terjadi lagi kalau di dalam manajemen artis kita sudah DITERTIBKAN secara organisasi dan administrasinya. Mari kita lihat apakah kita sudah memiliki kontrak tertulis antara manajemen dengan artis yang mengatur kerjasama profesional ini? Apakah peran, hak & kewajiban masing-masing pihak sudah di jabarkan secara rinci? Pemisahan fungsi manajemen sudah diberlakukan? Apakah antar personel band kita sudah memiliki kontrak internal pula? Kalo semua konsolidasi internal ini beres gue jamin masalah-masalah di atas nggak bakal terulang lagi di masa depan." Itulah jawaban Danu  dari Morning Horny.
Oke, sementara begitu aja pandangan gue tentang isu ini. Memang tulisan ini ga akan mengubah strategi major label untuk ga ngebuka divisi manajemen artis di dalam perusahaan mereka, toh semuanya jadi keputusan bisnis mereka juga. It’s their damn business afterall :) Lagipula masih ada juga major label yang tidak memberlakukan strategi dagang ini (paling tidak sementara ini), misalnya seperti Aquarius Musikindo, Universal Music Indonesia.

Yah, minimal kita bisa mencegah regenerasi kebodohan dan berlanjutnya proses pembodohan seperti ini sekarang juga.

Gw bakal berterimakasih banget deh kalo ada kawan-kawan yang mau mem-forward atau menyebarluaskan tulisan ini agar dibaca lebih banyak artis-artis baru yang berniat mempertaruhkan masa depan dan karir mereka sebagai musisi. Jangan biarkan mereka dirampok!

Hope we could make real changes together.

For better, not worst....


Cheers,
-GJG-