Udah Maret aja ya? uummms, tapi ga perlu nunggu September kan untuk ceria, Teh Vina??
*SeptemberCeria*
*SeptemberCeria*
Skip basa-basi, berikut adalah poin-poin respon terhadap beberapa hal yang saya rasakan sebagai anak.
Jika kalian tak menyukai hal yang saya tulis di sini, sudah seharusnya kalian membuat media kalian sendiri dan menulis pendapat kalian tentang apapun yang kalian suka disana. Jika kalian membenci saya atau apapun yang saya tulis, that's pointless and tak seharusnya kalian mampir disini dan pergunakanlah waktu berharga kalian untuk hal-hal lain yang lebih penting. Sesederhana itu.
-----------------------
Sekarang saya benar-benar yakin sebenarnya anak lebih sering menjadi bukti untuk orangtua mereka kalau mereka adalah manusia yang "baik dan benar" di mata manusia lainnya, juga Tuhan.
Sejak lahir, kebanyakan anak yang lahir disertai keinginan-keingan orangtuanya. Bukan keinginan anak itu sendiri. Keinginan orangtua inilah yang menyertai si anak hingga dia tumbuh besar terlepas apakah keinginan sang anak sendiri akhirnya berhail dicapai atau tidak, keinginan orantua juga mesti tetap harus dipenuhi bagaimanapun caranya.
Saya sempat beradu argumen dengan Ibu saya tahun lalu (maklum saya perantauan, terpisah pulau dengan indungnya). Ga dosa kan kalau sekedar beradu argumen? Saya tidak memukul dan melukai Ibu saya lho. Argumen saya berkaitan tentang kakak perempuan, yang saya panggil dengan istilah mbak (java version). Saya mempunyai dua kakak yaitu Mbak Rika dan Mbak Vitri, tetapi di tulisan ini akan saya samarkan menjadi "Nancy" (dilarang protes, tulisan-tulisan saya kok. hhh...). Alasannya kalau nanti kedua kakak saya yang cantik (menurut suaminya) itu membaca tulisan ini, dia tidak merasa dirinya yang saya tulis disini.
Saya tidak mengerti bagaimana Ibu saya merasa malu kalau Nancy pergi ke pesta yang saat itu adalah pesta natal tidak memakai pakaian yang biasa dikenakan saat menghadiri acara seperti itu. Ibu saya mengeluh mulai dari alas kaki hingga rok yang dikenakan Nancy. Saya tidak habis pikir, bagaimana cara berpakaian Nancy (mengingat Nancy lebih dewasa dari saya) bisa mengakibatkan perasaan risih kepada orang lain.
Saya semakin tidak mengerti, beberapa saat setelah kejadian itu di malam hari Ibu saya mengatakan kalau cara berpakaian saya memalukan dan beliau tidak sangat nyaman dengan piercing yang ada di lidah dan bibir saya. Saya lalu bertanya-tanya pada bulan dan bintang (asiiik banci banget ya kata-kata saya), apakah saya harus mencela potongan dan gaya berpakaian Ibu saya??
Namun sebelum melakukan hal yang sama pada beliau, lalu saya sadar kalau... ...SAYA TIDAK PEDULI! Saya tidak pernah mau peduli potongan rambut atau gaya berpakaian Ibu saya selama beliau merasa nyaman dengan itu semua. Tentu saja bukan berarti tidak sayang dengan beliau, tapi CARA SAYA MENYAYANGI BELIAU BUKAN SEPERTI ITU!
Thats my Mom, saudara-saudara. Ibu saya sesungguhnya adalah figur seorang penyayang anak yang ber-mindset era 1980an jadi ya rada diktator. Mungkin karena Ibu saya hampir 20 tahun menjabat sebagai seorang Kepala Sekolah sehingga beliau bermental pemimpin ala Kepsek. Sifat kepemimpinan inilah yang saya gandrungi dari Ibu saya, beliau selalu memiliki planing unpredictable, kritis, tapi kalau sudah sesuai keinginannya? Buseeet man, inilah yang saya kupas. Lanjuuut ke naskah lagi saudara-saudara yang budiman dan beriman. Hhh...
Beliau tokoh utama dalam naskah ini.
Saya ingat pembicaraan saya dengan Ibu saya (via telpon) beberapa bulan yang lalu dimana sebenarnya Ibu saya (mungkin termasuk Bapak saya juga) sangat malu pada sanak saudaranya karena Ibu saya merasa tidak mampu mendidik anak-anaknya yang hingga hari ini tidak kunjung mendapatkan pasangan yang seiman. Damn, ya karena kedua kakak perempuan saya bersuamikan non Katolik, sedangkan saya baru saja selesei (baca: putus) dengan kekasih saya yang juga non Katolik. Hhh...! Come on praying for me kawan, semoga segera mendapatkan wanita pendamping yang seiman, ramah, cakep, jenius, anaknya pejabat. Namanya juga ngarep, suka-suka saya dongski ngarep apa aja, apalagi harapan yang terakhir ini: fullbody touch sexy, hhh...
Saya ingin sekali mengatakan kepada orangtua saya, bukankah lebih baik saya dibiarkan tidak dianggap anak lagi daripada menanggung malu orangtua saya seperti itu? Toh saya tidak merasa membuat malu untuk diri saya sendiri hari ini.
Apakah saya juga butuh orang lain datang dan mengatakan hal itu di depan muka saya? Oh, tidak! Terimakasih banyak. Saya sudah bersyukur hidup dengan keadaan saya hari ini yang sangat jauh lebih beruntung daripada banyak orang di dunia dan saya tidak butuh kritik tidak masuk akal seperti itu.
Hal yang saya alami bukanlah diskusi, tetapi doktrinisasi. Sudah terlalu lama saya mengalaminya! sudah cukup! Sekarang saya hanya ingin mengatakan apa yang saya rasakan di depanmuka orangtua saya. Terserah bagaimana beliau menanggapinya. Terserah kalaupun beliau mau memecat saya dari anaknya (tapi tetap saya menganggap Engkaulah yang saya hormati sebagai orangtua)! Bukannya saya tidak peduli, tapi saya peduli. Masalah dengan orangtua rasanya tidak lagi adalah tentang nyali, tapi harga diri, buat saya! Pardon my arrogance.
Masaiya, saya mau dihargai sebatas cara berpakaian? Hina sekali saya, secara saya sudah tumbuh dengan pemikiran yang juga dulu dibimbing oleh beliau dan mampu memiliki keilmuan yang saya peroleh dari sekolah-sekolah saya (yang juga penghasilan dari jerih payah kedua orangtua saya). Maka semua itu akan saya tunjukkan ke orangtua saya bahwasanya hasil bimbinganmu dan hasil Engkau menyekolahkan aku sesungguhnya yang lebih bermakna adalah pola pikir saya yang mampu membuat karakteristik dalam diri saya yaitu resistensi dan konsistensi.
Sesungguhnya saya akan merasa bangga dianggap sebagai anak oleh kedua orangtua saya jika saya dikagumi karena memiliki pola pikir bukan dari penampilan. Pola pikir yang ada di dalam diri sayalah yang akan saya tonjolkan ke orangtua saya. Jujur, saya bukan anak yang cerdas, tidak juga lulus dengan predikat cendekiawan. Tetapi saya merasa memiliki pola pikir yang beda dari anak muda seusia saya lainnya.
Saya merasa cukup dengan orangtua saya yang telah membiayai sekolah saya sampai saat ini, hingga saya memiliki keilmuan dan pola pikir seperti saat ini juga. Cukup beliau membekali saya dengan segudang ilmu melalui sekolah-sekolah. Selanjutnya masalah karier, tidak akan saya berlatarbelakang dari kedua orangtua saya, tetapi dalam penentuan karier tetaaap saya akan meminta restu yang terbaik darimu (wahai orangtuaku), tetapi tolong berikan saya celah untuk bersikap dan menentukannya. Thx my mom and my dad! Kemudian akan saya bekali Engkau di hari tua-mu nanti, supaya engkau tetap tersenyum meskipun anakmu saat ini sedang ganteng maksimal (bacanya sambil kalem ya man).
Para pembaca yang setia, asiiik sok bet serasa banyak yang ngantri pen baca (gaya novelis). Okay kidding aside. Mereka yang nantinya berkenan untuk membaca coretan ini (thx banget), akan yakin saya pasti akan melawan pada orangtua saya untuk banyak hal dalam hidup saya.
Cheers,
-GJG-
Apakah saya juga butuh orang lain datang dan mengatakan hal itu di depan muka saya? Oh, tidak! Terimakasih banyak. Saya sudah bersyukur hidup dengan keadaan saya hari ini yang sangat jauh lebih beruntung daripada banyak orang di dunia dan saya tidak butuh kritik tidak masuk akal seperti itu.
Kenapa orangtua saya seringkali meminta saya menuruti beliau agar supaya beliau bahagia (katanya)? Mereka bahagia hanya karena saya berpakaian dan melepas segala atribut piercing di tubuh saya, seperti yang beliau inginkan, begitu? Ah, alangkah mudahnya membuat orangtua BAHAGIA! Namun alangkah menyebalkan bagi yang melakukannya. Kenapa tidak bisa kita berdua bahagia tanpa salah satu merasa nyeri? KOMPROMI?Nggak, saya muak berkompromi, tapi saya senang berdiskusi. Melalui diskusi saya akan mendapatkan maksud dan tujuan dari lawan diskusi (dalam hal ini Ibu saya), serta saya pun mampu mempresentasikan pendapat saya tentang apa yang saya pikirkan bukan yang saya inginkan. Hasil dari diskusi inilah yang saya harapkan, saling mengetahui pendapat masing-masing meskipun berbeda pendapat. Indah sekali. Kita akan merasakan keindahan dari perbedaan selama perbedaan belum dibeda-bedakan.Saling menghargai perbedaan akan menambah wawasan mereka yang merasa beda tanpa membeda-bedakan. Allright.
Hal yang saya alami bukanlah diskusi, tetapi doktrinisasi. Sudah terlalu lama saya mengalaminya! sudah cukup! Sekarang saya hanya ingin mengatakan apa yang saya rasakan di depan
Masaiya, saya mau dihargai sebatas cara berpakaian? Hina sekali saya, secara saya sudah tumbuh dengan pemikiran yang juga dulu dibimbing oleh beliau dan mampu memiliki keilmuan yang saya peroleh dari sekolah-sekolah saya (yang juga penghasilan dari jerih payah kedua orangtua saya). Maka semua itu akan saya tunjukkan ke orangtua saya bahwasanya hasil bimbinganmu dan hasil Engkau menyekolahkan aku sesungguhnya yang lebih bermakna adalah pola pikir saya yang mampu membuat karakteristik dalam diri saya yaitu resistensi dan konsistensi.
Sesungguhnya saya akan merasa bangga dianggap sebagai anak oleh kedua orangtua saya jika saya dikagumi karena memiliki pola pikir bukan dari penampilan. Pola pikir yang ada di dalam diri sayalah yang akan saya tonjolkan ke orangtua saya. Jujur, saya bukan anak yang cerdas, tidak juga lulus dengan predikat cendekiawan. Tetapi saya merasa memiliki pola pikir yang beda dari anak muda seusia saya lainnya.
Saya merasa cukup dengan orangtua saya yang telah membiayai sekolah saya sampai saat ini, hingga saya memiliki keilmuan dan pola pikir seperti saat ini juga. Cukup beliau membekali saya dengan segudang ilmu melalui sekolah-sekolah. Selanjutnya masalah karier, tidak akan saya berlatarbelakang dari kedua orangtua saya, tetapi dalam penentuan karier tetaaap saya akan meminta restu yang terbaik darimu (wahai orangtuaku), tetapi tolong berikan saya celah untuk bersikap dan menentukannya. Thx my mom and my dad! Kemudian akan saya bekali Engkau di hari tua-mu nanti, supaya engkau tetap tersenyum meskipun anakmu saat ini sedang ganteng maksimal (bacanya sambil kalem ya man).
Karena ini blog pribadi saya bukan portal umum bahkan bukan juga khotbah saya kesejuta umat. Maka menurut saya, jika orangtua tersenyum karena kita menurutinya, maka senyum tersebut tidak akan kekal.
Tetapi buatlah orangtua tersenyum karena pola pikir, itulah yang disebut sebagai perbuatan mulia.Tidak banyak orang yang mengenal saya, karena saya bukan Taufik Hidayat ataupun Billie Joe Armstrong. Siapa saya dibanding mereka berdua? Gantengan saya kemana-mana, tapi tajiran mereka kemana-mana juga. Hhh...
Para pembaca yang setia, asiiik sok bet serasa banyak yang ngantri pen baca (gaya novelis). Okay kidding aside. Mereka yang nantinya berkenan untuk membaca coretan ini (thx banget), akan yakin saya pasti akan melawan pada orangtua saya untuk banyak hal dalam hidup saya.
SALAH BESAR!!!Karena selama masih ada satu hal diantara saya dan orangtua saya, maka saya tidak akan punya keinginan cukup besar untuk memenangkan peperangan itu. Buat apa? Saya bukan Tuhan. Happily ever after for my finest parents!
Cheers,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar