Senin, 11 Februari 2013

STRAIGHT X EDGE (first time post)

STRAIGHT X EDGE
a live worth living


  • Sebuah sejarah atau sebuah aib? Jika saya mulai hadir membuat blog.
  • Is it revolution or a destroyer of monotomous tradition? Jika akhirnya seorang Join (GJG) menganut dan berkomitmen dengan paham ini.

Inilah post saya yang paling awal di dunia blogger, dengan diawali publikasi karya yang melawan selera awam dengan topik "STRAIGHT X EDGE - a live worth living" sebuah jawaban atas komitmen yang saya jalani. Awal kuliah S1 (Prodi Teknik Geologi UPN), saya uda mulai menerapkan komitmen ini, banyak rintangan, cobaan, cercaan, di kata sok, takut sama bini (baca: pacar), serta banyak yang ga percaya.
"Rokok dulu jo." Sembari mengeluarkan Djarum Super, si kawan baru di kampus (sekitar September 2007).
"Iye, udeh gampang. Selow sih." Itu suara yang tanpa permisi keluar dari bibir tapi dalam hati menggerutu anjir nih rokok tipe gw lagi, secara Djarum Super men bungkusnya yang merah dengan perpaduan list hitam menggoda si bibir untuk menghisapnya.
Mungkin itu salah satu bentuk godaan dalam menjalankan komitmen saya. Paling sulit adalah saat perut kenyang, kemudian sembari menunggu turunnya makanan dalam perut kalau bahasa tanpa EYD rokok lok! Memang pas banget momen-momen setelah makan, ngerokok, ngobrol asik sama bocah-bocah baru. Tapi ga lama, salah satu bocah baru mulai sadar yang lain pada kebal-kebul kok si Join kagak ye?
"Jo, lu kagak ngerokok ye? gaya bet lu. Takut ketauan bokap lu? Rokok aja kali Jo, bokap lu di Kaltim sono bakal kaga ngerti dah." rasukan si NS (inisial nama), yang dilanjutkan dengan ketawa-ketiwi berasa paling gaul gitu doi kalau megang batang rokok, yang bisa jadi itu cuman ketengan (*istilah di Jogja, beli batangan).
Jleb, faaak, nyengir dulu aah :)  tahan Jo tahan. Pada songong dah, lagian masih anak kemarin sore uda belagak tengil, sebenarnya siapa sih yang sok? Ya, kalau di lihat dari cara megang puntungnya, gaya ngisapnya yang sekedar memasukkan asap lalu dikeluarkan tanpa adanya tarikan (sesungguhnya di situlah nikmatnya), terkadang sambil batuk-batuk kecil, hhh (*pengganti haha...hihi...) mampus. Aku menilai mereka semua bukan perokok tapi anak-anak yang baru mulai merokok, biar dikata rada rebel gitu.
"Hhh... ga gitu juga kali Ru. Busseet dah bawa-bawa bokap, gw ga takut ma bokap gw, tapi gw hormat ma beliau cok. Aseeek, basi bet ye. Ya beliau ngertiin gw mulu sih, secara bokap sponsor bulanan gw kali, hhh..." Gw coba mengalihkan isu.
"Yaaaah elu lagian, yang laen pada ngerokok juga, lu doang yg bibir lu tanpa asap." celotehan NS ditutup dengan ketawa-ketiwi lagi. Gw pun senyum tipis dan merasa kasihan sama mereka terutama sama NS.
"Iye, asap noh ngebul di bibir lu pada kayak knalpot pitung tanpa modif. Lagian ngerokok mah di isep-embus-isep-embus doang kaga ada tarikan sama sekali. Beng-beng ama Matte noh dikit doang asapnya, motor 4 tak doi ramah lingkungan.  Hhh... Nikmat bet ye ngerokok kalo di tarik Te? Yo ra beng?" sambar saya dengan harapan bisa menampar halus ocehannya sih NS.
Itulah yang menjadi bahan cercaan saya dalam menjalankan komitmen saya. Ada lagi, ntah ini kategori hinaan atau apa saya juga belum mampu mengkategorikannya. Apakah itu? Rasa ketidakpercayaan dari sang gebetan (kala itu) yang akhirnya sudah menjadi mantan pacar (era ini).
"Jo kamu serius ga ngerokok?" Tanyanya.
"Iya Ne." Anggukanku dengan mantap.
"Alah boong." Sambarnya.
"Dih, ga percaya dia mah." Jawabku.
"Karena ada aku aja kan kamu ga ngerokok?" Tanyanya dengan polos.
"Jangan kepedean deh Ne, hhh... Emang aku uda ga ngerokok kali, sumpah daah!"
"Oh iya deh." lurus suaranya.
"Kok maksa banget iya-nya?"
"Emang." 
"Hhh... masih ga percaya ya?" 
"Lagian, basi kali Jo. Uda hafal sama belangnya cowok." wajahnya merengut kecewa karena tidak ada usaha dari aku untuk menjelaskannya. "Mustahil Jo, bibir-lidahmu aja kamu tindik tapi malah ga ngerokok." sambungnya.

Aku bergumam tapi dalam hati What tindik? Ini namanya di-piercing Nene, kasian amat hhh... Rasanya aku pengen menjelaskan panjang lebar perbedaan antara tindik dengan piercing, karena menurutku itu lebih penting dan bisa menambah pengetahuan baru terkait piercing yang masih dianggap tabu oleh orang awam. Daripada memberikan alasan kenapa aku pensiun dini dalam dunia seni rokok, itu akan menjadi sebuah anggapan bahwa aku melakukan pembelaan diri. Dengan menjelaskan saya dan Nene sama-sama akan mendapatkan hal positif daripada beralasan.
"Oh jadi kamu ga percaya dari sisi itunya Ne? Ya ini bentuk kenakalanku Ne, tapi aku sadar harus mem-filter kenakalanku." aku perlahan coba menjelaskan, tapi justru bukan menjelaskan perbedaan piercing.
Dia segera menoleh dan menyipitkan matanya yang memang sipit. "Hahaha... Lucu, masa iya nakal kudu di filter juga. Harus ya di filter."
"Ya kalo menurutku Ne, yang membahayakan itu bukan anak nakal tapi justru yang terlambat nakal akan lebih membahayakan." 

"Aku ga dong." singkatnya.
"Aduh... Selagi masih muda aku akan merasakan seluruh kenakalan, tapi semoga bisa cepat sadar, hhh..." kok aku malah jawab yang rada out-of-topic mulu.

Selang 2-3 bulan kemudian, yang dahulu sekedar kenal dengan nuansa paksaan dari para senior, akhirnya terseleksilah mana yang menjadi sahabat dekat (saya menyebutnya sebagai kawan), hanya teman kampus, serta yang dulu gebetan sudah menjadi sang pacar (dia menyebutnya sebagai kekasih). Semua itu tidak lantas serta merta menyurutkan cibiran terhadap komitmen saya, tetapi saya tidak sendirian lagi untuk menghadapinya, ada sang pacar yang merupakan sesosok wanita humble selalu membantu saya untuk mengelak cibiran-cibiran, ocehan, cercaan dari orang-orang yang saya temui terutama di lingkungan kampus UPN yang membanggakan.

Setiap pertanyaan terlontar dari orang-orang terdekat yang berkaitan dengan komitmen saya, sang pacarlah yang menjadi penjawab paling depan. Sangat pede dia menjawab dengan mengelakkan perasaan sinis dari seorang penanya. Sang pacar ialah tokoh (kala itu) yang menjadi gerbang paling depan untuk membentengi segala bentuk cercaan atau hinaan terhadap komitmen saya. Mungkin karena sang pacar sudah mengerti dan paham segala bentuk tingkah saya sebagai pemuda yang mempunyai kenakalan yang berbeda. 

Satu masalah muncul, ada anggapan bahwa jawaban dari sang pacar adalah bentuk perlindungan diri bahwasanya saya menjalankan komitmen ini berlatarbelakang takut sama pacar. Ya, itu dikarenakan sang pacar selalu agresif dalam menjawab, sehingga timbul penyalahartian. At least, saya tetap menghargai usaha agresif dari sang pacar yang telah mengerti saya, but then menganggap hinaan, cercaan, ocehan mereka (bukan kawan saya) sebagai angin segar supaya saya tetap kokoh di komitmen saya.

Well, anjing menggonggong saya akan tetap komitmen!!!

Maybe for some of you really sure how he feels about me. Seperti yang dirasakan juga oleh sang pacar. Thx buddy-honey!

Ya inilah paham yang saya anut. Silahkan menikmati bacaan, yang saya sadur langsung dari free music magazine DAB volume 12.














Cheers,
-GJG-




Tidak ada komentar:

Posting Komentar