Selasa, 12 Februari 2013

THE KUTEI BASIN (Ott dalam Satyana)

Antiklinorium Samarinda adalah jalur-jalur antiklin di bagian timur Cekungan Kutei, Kalimantan Timur dari daratan sampai lepas pantai, membentuk jalur-jalur sejajar berarah selatan baratdaya-utara timurlaut selebar sekitar 125 km dan sepanjang sekitar 400 km. Jalur-jalur antiklin ini menjadi tempat lapangan-lapangan minyak dan gas di Cekungan Kutei. Asal kejadian Antiklinorium Samarinda telah dibahas oleh banyak peneliti yang melibatkan banyak mekanisme, misalnya: kompresi yang berasal dari benturan mikrokontinen Banggai-Sula di sebelah timur Sulawesi (van de Weerd dan Armin, 1992-AAPG Bull), inversi oleh dua sesar mendatar besar yang mengapit Cekungan Kutei di sebelah selatan (Sesar Adang-Paternoster) dan sebelah utara (Sesar Mangkalihat) (Biantoro dkk., 1992-IPA Proc), detachment folding above overpressured sediments (Chambers dan Daley, 1995-IPA Proc), differential loading on deltaic sediments and an inverted delta growth fault system (Ferguson dan McClay, 1997-IPA Proc).

Mekanisme dari van de Weerd dan Armin (1992-AAPG Bull) tidak terbukti karena bagian utama Selat Makassar di sebelah tmur Kalimantan Timur sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala komprei, sehingga tidak ada propagasi gaya kompresi dari benturan mikrokontinen Banggai-Sula menerus sampai Cekungan Kutei lalu membentuk Antiklinorium Samarinda. Penjelasan dari Biantoro dkk (1992-IPA Proc) tidak sesuai karena regional wrenching dari dua sesar mendatar besar tidak akan membentuk antiklinorium sampai selebar 125 km dan sepanjang 400 km, itu mungkin hanya akan membentuk pop-up structure tunggal. Penjelasan dari Chambers dan Daley (1995-IPA Proc) dan Ferguson dan Mc Clay (1997-IPA Proc) benar pada aspek pembentukan struktur secara individu, tetapi tidak menjawab pembentukan Antiklinorium Samarinda secara keseluruhan.


Penjelasan yang memuaskan secara regional dan komprehensif, menurut hemat saya diajukan oleh van Bemmelen (1949-the Geology of Indonesia), Rose dan Hartono (1976-IPA Proc) dan kinematika struktur/tektoniknya didetailkan oleh Ott (1987-IPA Proc). Ketiga publikasi ini menggunakan gliding tectonics atau gravity sliding dalam pembentukan Antiklinorium Samarinda. Penyebab utama kinematika ini adalah terangkatnya Tinggian Kuching pada Oligo-Miosen di sebelah barat Cekungan Kutei yang kemudian dikompensasi secara gravitasi dan volumetrik oleh menurunnya Cekungan Kutei ke sebelah timur. Sedimen molasse dari Tinggian Kuching yang didominasi oleh sedimen halus pada Miosen Awal diendapkan di Cekungan Kutei dan telah membentuk decollement atau detachment surface yang merupakan floor thrust untuk sedimen-sedimen yang lebih muda di atasnya terdeformasi secara thin-skinned tectonics sambil berprogradasi diendapkan ke sebelah timur membentuk Antiklinorium Samarinda. Kinematika gravity sliding ini masih terjadi sampai sekarang di bagian paling timur Cekungan Kutei yang membuka ke Cekungan Selat Makassar Utara dalam bentuk toe-thrust system sedimen-sedimen turbidit di wilayah lereng cekungan.

Tidak ada peranan tektonik lempeng dalam pembentukan Antiklinorium Samarinda. Tetapi pengangkatan Tinggian Kuching pada Oligo-Miosen dapat dijelaskan melalui dua cara: tektonik lempeng dan undasi. Tektonik lempeng menjelaskannya sebagai berhubungan dengan berbenturannya mikrokontinen-mikrokontinen di sebelah baratlaut Kalimantan akibat pemekaran dasar samudera Laut Cina Selatan. Mikrokontinen-mikrokontinen Luconia dan Spratley Islands-Dangerous Ground (Metcalfe, 1996-Tectonic Evol. of SE Asia, eds Hall & Blundell) dianggap telah membentur Kalimantan di sebelah baratlaut dan mengangkat Tinggian Kuching.

Teori undasi van Bemmelen (1949-the Geoogy of Indonesia) menganggapnya sebagai gerakan vertikal meso-undasi oleh naiknya intracrustal asthenoliths mengangkat foredeep palung (flysch phase) proto-Laut Cina Selatan. Intracrustal asthenoliths adalah material mantel yang naik (upwelling mantle plume) yang terjadi mengikuti reaksi geokimia terhadap perubahan-perubahan tekanan dan temperatur setelah tektonik gravitasi flysch phase yang membentuk endapan-endapan turbidit di palung. Dalam anggapan ini, maka semua sedimen pasca-pengangkatan Tinggian Kuching adalah fase molasse orogenesa.


Semoga berguna bagi pembaca yang umumnya sedang studi skripsi maupun tesis.
-GJG-

Terjemahan Hank Ott - The Kutei Basin
(Proceeding IPA, 1987).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar