Jumat, 15 Februari 2013

UP THE PUNK (aceh's topic)

Sebelum saya berpanjang-panjang menulis posting tak penting ini, saya nyatakan dulu satu hal yang pasti:
- saya seperti kawan-kawan kebanyakan, tak sepakat dengan fenomena razia, pemukulan, penggundulan dan bentuk pelecehan lainnya yang dilakukan oleh polisi syariah di Aceh pada Desember 2011 silam. Tak ada manusia yang layak diperlakukan demikian hanya karena stigma yang datang dari penampakan dan perilaku yang tidak sesuai (konon) dengan adat/norma setempat. -

Tapi ada beberapa catatan yang baiknya saya mulai dengan yang pertama; kasus ini tidak sesederhana yang media gembar-gemborkan. Ada kompleksitas tersendiri dimana sulit dipahami oleh awam yang tidak sempat berada di dalam scene punk dimanapun. Tidak juga oleh Propagandi atau Rancid yang memberikan pernyataan mereka (gambar bawah). Indikator sederhananya sebut saja satu; Tidak adanya aksi solidaritas di tataran Aceh juga menimbulkan pertanyaan. Banyak faktor memang, kondisi yang tak memungkinkan misalnya. Namun dari perbincangan dengan beberapa kawan, nampaknya faktor keterasingan komunikasi dan ketidakkesepakatan atas aksi-aksi kultural komunitaslah yang menjadi penyebab.


Saya yakin, terdapat banyak kawan-kawan Punk di Aceh sana sejak rejim Soeharto berakhir, bahkan saya yakin scene di Aceh sudah mulai ada dan luar biasa aktif di penghujung 90-an dan awal 2000-an. Tidak hanya karena keadaan tidak mengijinkan lalu mereka tidak melakukan sesuatu, apalagi hanya sekedar aksi solidaritas. Jika dahulu tidak pernah ada masalah dengan masyarakat lalu mengapa tidak juga sekarang? Oke, faktor polisi syariah, tapi saya yakin bukan hanya itu. Pasti ada sesuatu. Paling tidak saya bisa berkaca pada keadaan di kota kami sendiri dan dimana ‘Punk’ bukan lagi sesuatu yang harus saya bela sebagai identitas, namun lebih sebagai semangat.
Saya tidak mengidentikkan lagi ‘punk’ sebagai identitas, sejak penampakan itu dipakai dengan sesuatu yang tidak saya sepakati, mulai dari mohawk yang menjadi trend fashion yang ngga banget (band-nya Ahmad Dhani misalnya) hingga wujud ‘punk’ yang berkeliaran disudut kota sebagai pengamen (sejak kapan punk meminta belas kasihan?) dan memalak orang, apatis terhadap pergulatan komunitas sekitarnya, termasuk menjadi fasis geng yang sungguh sama sekali tidak ‘punk’.
Inilah jawaban dari share blog saya yang perdana yaitu Straight Edge (silahkan klik link). Jawaban yang sesungguhnya mengapa saya (GJG/join.red) memaknai, menjalankan, dan berkomitmen terhadap paham straight edge sejak 2007 hingga saat menulis ini yaitu mampu berhenti dari rokok, jauh dari alkohol, dan agak netral dari beer. Saya tidak memungkiri di umur saya yang belia ini, semenjak 2002 saya sudah merasakan hal-hal tersebut di pulau kecil yang menyerupai bentuk koma pada kenampakannya di Peta Indonesia. Hasil dari proses selama menjalani paham tersebut adalah cercaan, ocehan, diakhiri dengan sanjungan bertubi-tubi dari orang terdekat yang merasa bla…bla…
Saya meninggalkan identitas punk, tetapi rutinitas pagi di playlist selalu berisikan distorsi-distorsi dari karya Rancid, dll. Hal ini supaya semangat punk selalu hadir untuk mengawali dan mengarungi aktifitas harian saya.
Oke untuk mencegah OOT/out of topic (bahasa yang sering digunakan kawan saya, sebut saja dia Matty), maka saya akhiri backflute ini untuk lanjut mengenai topik.
Catatan lainnya cukup mengagetkan sebenarnya, mengingat ini terjadi pada komunitas yang mengidentifikasikan diri dengan kata dan makna ‘PUNK’. Catatan yang agaknya perlu sama-sama kita renungkan mengingat menjadi ‘punk’ adalah sebuah pilihan yang bukan tanpa resiko apapun makna yang kalian tempelkan disitu. Dimana pilihan itu sudah seharusnya datang dengan konsekuensi yang sudah diperkirakan, dimana (layaknya sebuah pilihan) harus dipertahankan oleh mereka-mereka yang yakin dengan pilihannya. Sehingga menjadi cengeng saat konsekuensi itu datang sangatlah aneh.

Lepas dari beberapa catatan usai mengumpulkan info tentang Aceh perihal fenomena ini, ada sesuatu yang agak absurd. Lagi-lagi dengan catatan; ini terjadi dengan mereka yang mengaku ‘punk’, bukan sebuah ke-profesian khusus lain (misalnya tukang baso) yang tidak ada makna-makna pembangkangan khusus melekat didirinya.
  • Bakso disini bukan juga Bakso Idola yang anda (Matty dan Geppy.red) perdebatkan dengan saya barusan saat anda membuyarkan konsentrasi ketika saya menulis ini. No problem, at least kehadiran anda sedikit membuka wacana, antara lain: Era Soe(karno/harto), Dhani, Ibas yang sok menjaga trah Sarwo Edi, Monas yang di bersihkan untuk menyambut orang siap gantung (baca: Anas), Nazar, Presidenmu yang berpolitik riot dengan mengalihkan isu Lapindo, Golkar yang mana PNS era dulu wajib memilih Golkar (gimana Cendana Family ga 32 tahun), Bu Mega yang lebih baik minang cucu, hingga saya nge-growl demi kemajuan TA kalian. So, enjoy your dissertation buddy!

Pertama; saya tak melihat adanya perlawanan signifikan dari mereka yang di-razia plus plus itu kemarin. Pada sebuah potret mereka digunduli, dimasukan ke kolam dengan nerimo. Cukup aneh sebagai penerimaan atas nasib, bukankah kawan-kawan sudah seharusnya melawan jika memang itu semua adalah pilihan hidup yang kalian pilih, bukankah kawan-kawan sepakat bahwa hidup kalian adalah milik kalian yang tak ada seorangpun bisa mendiktenya kecuali tentunya kawan menjadi punk hanya pilihan dilematis dari sedikitnya pilihan menjadi diri sendiri. Mungkin saya salah, mungkin kawan-kawan disana melawan seadanya, namun saya melihat kawan-kawan masih sehat walafiat, masih bisa berdiri dan, ajaibnya, rela masuk kamp rehabilitasi. Jika konon menjadi diri sendiri itu sama pentingnya dengan mempertahankan isi perut, mengapa untuk sekedar kebebasan berekspresi yang melekat pada tubuh kawan-kawan disana tidak bisa mencontoh mereka yang berjuang hidup mati untuk isi perut mereka. Dari Kebumen hingga Mesuji bertebaran tauladan bagaimana mempertahankan sesuatu yang berarti penting bagi hidup kita. Kecuali memang arti itu tak sepenting yang kita perkirakan.


Catatan terakhir; soal respon ‘punk’ yang sungguh pula aneh untuk ukuran scene yang besar dengan tradisi melawan otoritas. Melakukan aksi solidaritas itu penting. Berguna untuk menunjukkan eksistensi dan simpati lintas komunitas dan mengirim sinyal kepada mereka yang ditahan bahwa mereka tidak sendirian.  Namun melakukan aksi yang mirip aksi-aksi usang ala mahasiswa, dengan mendatangi kantor kepolisian atau simbol-simbol kekuasaan, lengkap dengan statement seolah mereka adalah institusi yang layak diakui adalah sesuatu yang absurd. Jika letak pentingnya aksi solidaritas hanya untuk mengakui betapa pentingnya mereka sehingga harus kita datangi sekalipun untuk kita protes, maka sama artinya kita mengakui bahwa eksistensi kita berada ditangan mereka dan kita memelas meminta mereka untuk tidak berlaku tidak adil pada kita. Secara tidak langsung menunjukkan pada khalayak seolah perubahan akan terjadi jika kita memintanya pada otoritas. Sesuatu yang sama-sama kita sepakati sejak lama; tak akan pernah terjadi.

Bukankah selalu ada alternatif lain selain mendatangi otoritas dan meminta mereka berhenti melakukan pelanggaran? dan siapa pula target (aksi) komunikasi kita? apakah otoritas? atau masyarakat lain yang sebenarnya lebih layak kita ajak dialog perihal eksistensi kita (jika memang inti aksi ini melempar wacana soal perbedaan).

Sesuatu yang paling menggelikan adalah aksi seminggu kemarin yang terjadi di Yogyakarta (YK), dimana sekelompok ‘anak punk’ (ow em ci!!!, i hate that fukkin term!!!) mendatangi Polresta dengan statement-statement yang oxymoron. Mulai dari penamaan elemen aksi mereka; Masyarakat Punk YK (oh dewa marmot, ampuni kami!!) hingga pernyataan kepada kepolisian seolah punk memelas untuk dimengerti; “Kami hanya pakaian dan rambut yang dinilai urakan. Hati dan perilaku tetap santun dan soleh.”  cmon dude, do you really have to say that to fukkin cops???

Meminta masyarakat YK tidak terlalu apriori terhadap komunitas ‘punk’ pun sama oxymoron-nya. Karena penerimaan tidak terletak pada kata-kata, namun pada pembuktian dari hari ke hari dimana komunitas terlibat dalam pergulatan masyarakat dalam membangun pilar-pilar kehidupan bersama. Berkoar-koar berteriak didepan masyarakat tentang bagaimana hebatnya punk, tidak membuat kalian menjadi punk dan kemudian diterima diluar sana.
Buatlah band, buat gigs, rilis rekaman kalian, buatlah zine dan media kalian sendiri, berjejaringlah, jaga teman kiri-kanan dan keluarga kalian, bangun kemandirian komunal, organisirlah komunitas kalian, bergabunglah dengan mereka yang tidak beruntung di hidup ini, lawan otoritas yang menindas tanpa pandang bulu, bersenang-senanglah dengan passion kalian. Meski diluar sana kenyataan tak sesederhana itu, tapi paling tidak; at least those are things that make you punks. Berhentilah mengemis legalitas dan penerimaan. Respect is not a gift, its something you earn.
Terakhir, mengutip orasi sang orator lapangan; “Silakan bapak polisi geledah tas anak Punk. Tak sedikit dari mereka isinya sajadah dan kopiah untuk alat sholat. Kami masih berfikiran sehat, pak polisi,” tegasnya. Wait the fuck up…!!!  jadi dengan kata lain mereka yang tak memiliki alat sholat itu tidak berfikiran sehat dan layak diperlakukan tidak adil? Lagipula -tanpa mengesampingkan fakta banyak kawan-kawan yang relijius, bukankah simbol-simbol ‘kepribadian berakhlak’ ala maisntream adalah sesuatu yang kita lawan? Bukankah inti menjadi punk itu mengingatkan kita untuk meyakini pilihan kita sendiri? apapun itu, relijius atau tidak, stand up for what you believe in!


Apapun yang kawan-kawan yakini, jalani keyakinan kalian dengan kepala tegak. Tak ada aturan bahwa menjadi punk harus menjadi atheis, jadi jalani lorong spiritualitas kalian, peduli setan apapun yang orang katakan (seperti lagunya alterego “Whatever You Say”). Begitu pula sebaliknya, jika kalian yakin bahwa menjalani hidup tanpa keimanan bisa menjadikan kalian nyaman dengan apa yang kalian hadapi, mengapa pula harus mendengar petuah yang kalian sendiri tak yakini, termasuk masuk ke camp rehabilitasi. Diluar sana, gonjang-ganjing ini mengerucut pada debat tak berujung berkepanjangan sampai minggu lalu dan stigmatisasi baik pada ‘Punk’ maupun ‘Islam’ (yang direpresentasikan polisi syariah). Jangan terperangkap di wilayah itu, menjadi punk bukan kriminal, dan tidak pula menjadi seorang muslim  yang di beberapa pojokan diluar sana diperlakukan mirip kasus di Aceh. (Beberapa situs diskriminatif anti-toleransi mempergunakan isu Punk Aceh ini untuk mendiskreditkan Islam). Selama menjadi minoritas, akan selalu ada waktu dimana kalian melewati hari-hari cadas. Yang pasti sekali lagi; menjadi cengeng sama sekali tidak punk dalam menerima konsekuensi. Fight for it.


Yes, that’s me wrote all that crap. Mengemis penerimaan pada otoritas bukanlah sesuatu yang menyebabkan punk eksis di muka bumi. Now i sound too politicaly-correct, But fuck it, Lets make punk a threat again. Up the punx!

  • Maaf kepada pembaca. Jujur saya nasrani, tulisan ini bentuk opini saya terkait ‘punk’ bukan khotbah ke seluruh umat yang menyudutkan Islam. Thx for attention.
  • Saya besar bersama semangat ‘Punk’ yang saya ketahui. Sedikit banyaknya berjasa membentuk dan membuat saya sampai di hari ini. Satu-satunya kontribusi balik saya bagi Punk adalah berbagi nilai-nilai yang saya pahami dan sepakati dengan beberapa lainnya. Senihil apapun makna itu hari ini. Saya kadung yakin bahwa punk bukan sekedar pilihan selera musik. Saya lebih menekankan pada tulisan kemarin adalah soal prinsip non-kooperasi dengan polisi syariah. Bukan hal Islam-nya. Saya tak punya hak mengganggu gugat bagaimana seharusnya mereka memainkan musik, harus bersuara seperti apa musik mereka, atau harus terlihat seperti apa mereka. Thats pointless, kebebasan berekspresi sudah seharusnya mutlak milik mereka, ini bukan era Soe(karno/harto) lagi yang seperti barusan diingatkan oleh Matty dan Geppy.



Cheers, 
-GJG-

Referensi: gutterspid-herrysutresna-bangucok dan media online aceh.
Sumber gambar:  Hai-online magazine dan media online aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar