Yang diperangi sebenarnya bukan koruptor tapi budaya korupsi. Esensi dari kalimat ini sangat jelas ketika kita membasmi suatu hama tanaman, dimana jika terus kita menggunakan pestisida. Maka dampak jangka panjangnya adalah perusakan lingkungan karena jenuh kimiawi dan tambah kebalnya serangga-serangga itu karena tiap serangga mempunyai sistem kekebalan tubuh yang pintar dan terus update. (Info dari mahasiswa Instiper satu kosan).
Begitupun dengan para koruptor yang sedang ramai-ramainya ditangkap saat ini (Sutan Bhatoegana lagi disidang). Efouria kebebasan dan penegakan hukum yang bagus. Sehingga menjadi shock theraphy buat calon-calon koruptor yang laen, tapi tidak menyentuh brain maker dari korupsi sendiri yaitu budaya korupsi.
Karena ada satu paradox argument yang aku sampaikan berkaitan judul diatas bahwa, langkah tersebut musti dibarengi dengan pemberdayaan sistem dan recovery system sehingga akan timbul semacam kesadaraan dalam tiap sosio culture ditingkat masyarakat. Artinya tercipta suatu kesadaran dan paradigma bahwa korupsi itu memalukan.
Aku rasa kesadaran individu itu lebih penting ketimbang kesadaran kolektif atas hukum yang berlaku. Contoh orang akan takut korupsi karena akan dijerat pasal ini, pasal itu bla bla bla. Artinya hukum dibuat untuk menakut-nakuti. Tapi tidak menyentuh esensi dari stimulan budaya korupsi tersebut. Yu kno that? Biarpun puluhan koruptor ditangkap, selama budaya korupsi masih mengakar dalam masyarakat kita. Upaya tersebut akan sia-sia. Karena tidak adanya budaya malu itu tadi.
Oke lagi-lagi masyarakat, yah karena secara tidak sadar masyarakat punya andil besar dalam menyuburkan budaya korupsi itu tadi. Contohnya sangat banyak dan budaya-budaya ini sudah menjadi trend dan rahasia umum.
- Teriak basmi para koruptor? tapi kita sering telat masuk kerja.
- Teriak basmi koruptor? pungli ada dimana-mana.
- Teriak basmi koruptor? jadi PNS harus bayar sekian (eh korupsi atau kolusi ya).
- Teriak basmi koruptor? eh malah sibuk ngerumpiin make up nya si Hariati (nama lawasan versi Spyon).
Kesempatan menjadi kaya dengan cara instan dan adanya peluang senjata makan tuan, biar sejuta peluru di muntahkan tetap saja berbalik dan menyerang kita. Ini realita karena kita sering menutup mata dengan hal-hal seperti ini. Mulailah dari diri sendiri. Hal basi tapi punya nilai luhur yang tinggi demi kemajuan bersama.
Kenyataan yang lain juga diperparah dengan perilaku sebagian dari figur masyarakat kita seperti pejabat dan anggota DPR. Karena sudah seharusnya mereka memberikan contoh yang tauladan, eh ini malah memberi contoh yang buruk.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa yang tepat.
Permasalahan perkorupsian di Indonesia ini sebenarnya merupakan fenomena gunung es dimana sudah belibetnya implikasi dari budaya korupsi itu sehingga untuk memberantasnya bukan cuma memenjarakan satu-dua orang tapi bagaimana membudayakan dan menanamkan semangat ke generasi berikutnya untuk anti korupsi di segala bidang. Heroik emang, tapi ini merupakan revolusi juga solusi untuk memerangi budaya korupsi tersebut.
Tulisan ini di dedikasikan untuk menyambut pecahnya kebingunganku terhadap studiku. Merdeka!!!
Cheers,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar