Jumat, 08 Maret 2013

MATIKAN TELEVISIMU KAWAN (kasus lapindo memanipulasi pemikiran kita)

Akhir-akhir ini televisi anda selalu basi dengan siaran-siaran Au, yang merupakan inisial tersangka, sekaligus unsur kimia dari Emas Monas Anas! Yes of course, Anas Urbaningrum. Silahkan saudara-saudara lanjutkan sendiri membahas si munafuck yang satu itu. Kali ini saya akan mengupas kesimpangsiuran terkait apakah itu bencana alam atau human error yang membentuk suatu "danau lumpur" di Porong, Sidoarjo.

Once again DANAU LUMPUR, yaa sengaja saya membuat istilah sendiri. Isu tentang Lumpur Sidoarjo ataupun Lumpur Lapindo sudah menjadi bahan perbincangan dimanapun dari keilmuan sampai ke ranah politik dengan nada dan sentimen yang sama sebelum saya menulisnya di blog ini. Ouh shit, will I be mainstream? Tidak kawan! saya berani tegaskan spesifiknya, bahasan saya mengenai peran media massa yang mengakomodir pemberitaan danau lumpur menjadi suatu "pembenaran bukan kebenaran (kalimat maut pembimbing saya ini, saya cuplik dulu ya Pak Doktor)".

Isu ini berangsur menjadi menjijikan seperti gosip tabloid. Isu krusial tentang otoritas dilibas oleh isu-isu sampingan yang malah sama sekali tidak penting. Ketika sebuah gagasan tak lagi bisa memprovokasi diskusi sudah saatnya disudahi. Time to put action where your mouth is and practice what you preach.

Favete linguis: Favour me with the commotion your news on television.

----------------------------------------

Pertarungan Pengetahuan

Pengetahuan kita mengenai sesuatu objek memiliki jenjang atau tingkatan. Know What (apa), know How (bagaimana), dan know Why (mengapa). Pengetahuan kita tentang sesuatu objek akhirnya membentuk pemahaman terhadap objek tersebut. Pemahaman ini akan berpengaruh pada sikap kita terhadap objek tersebut.

Bakrie Grup, sebuah perusahaan yang sejak awal dikaitkan dengan kasus ini juga memiliki media massa. Dari prespektif pengetahuan, media massa adalah salah satu infrastruktur pengetahuan yang bisa mempengaruhi pemahaman kita terhadap sebuah objek atau kasus. Kepemilikan media massa oleh Bakrie Grup ini sedikit­ banyak mempengaruhi pertarungan pengetahuan dalam kasus lapindo.

Di sisi lain, warga masyarakat pun tidak tinggal diam. Kepemilikan infrastruktur pengetahuan dari Bakrie Grup, dilawan dengan mendirikan radio komunitas, buletin dan portal. Tujuannya sederhana memberikan pemahaman terhadap kasus ini di luar pemahaman yang diberikan media mainstream, termasuk media massa Bakrie Grup. Dari sinilah pertarungan pengetahuan dimulai.


Inkonsistensi Media

Pemberitaan media terkait semburan Lumpur Lapindo memang sangat beragam. Tetapi kebanyakan berita yang ditampilkan lebih menguntungkan pihak Bakrie. Salah satunya dengan penyebutan Lumpur Lapindo yang telah diarahkan menjadi Lumpur Sidoarjo (inilah yang menjadi alasan saya menyebutnya dengan Danau Lumpur).

Penelitian Yayan Sakti Suryandaru, pengamat media massa Universitas Airlangga, Surabaya, pada periode Januari-Desember 2008, memperlihatkan bahwa media tidak konsisten dalam menyebut Lumpur Lapindo. Sebagian besar media cetak lokal dan nasional lebih memilih menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo dibanding Lumpur Lapindo. Diantaranya harian Media Indonesia dan Surabaya Post, yang menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo. Sedangkan media lokal seperti Surya dan Jawa Pos terkadang menggunakan istilah Lumpur Lapindo, tetapi tak jarang juga menyebut Lumpur Sidoarjo. Hanya harian Kompas yang masih menggunakan istilah Lumpur Lapindo.

Tapi di tahun 2011, penyebutan istilah Lumpur Lapindo dan Lumpur Sidoarjo di media mulai berubah. Harian Kompas yang di tahun 2008 tetap menggunakan istilah Lumpur Lapindo, ternyata mulai Januari 2009 mengubahnya menjadi Lumpur Sidoarjo. Saat ini KOMPAS kembali menggunakan istilah Lumpur Lapindo.


Harian Media Indonesia dan Metro TV justru sebaliknya. Setelah kekalahan Surya Paloh dalam pencalonan sebagai Ketua Umum Golkar di tahun 2009, penyebutan Lumpur Lapindo kembali digunakan.

Sedangkan media-media milik Bakrie, seperti TV One, ANTV, Vivanews dan Surabaya Post tetap menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo. Ini diikuti oleh Suara Surabaya, Inilah.com, Suara Merdeka, Jurnal Nasional, dan BBC Indonesia. Untuk Detik.com dan Suara Merdeka, keduanya kadang menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo, tetapi kadang juga menggunakan Lumpur Lapindo. Sementara media yang masih menggunakan istilah Lumpur Lapindo adalah Antara, Tempo, Okezone, Pos Kota, dan JPNN.


Bagaimana Media Bakrie Grup Memberitakan Kasus Lapindo?

Bakrie Grup selain memiliki usaha tambang, juga memiliki berbagai media. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Bakrie Grup mencoba mensinergikan group medianya di VIVA Group (AnTV, TVOne dan Vivanews.com) dengan grup telekomunikasinya.

Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) Anindya Novyan Bakrie memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology (BakrieTMT2015) akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015 di Jakarta, Kamis (31/3). Untuk sinergi tersebut BTEL akan menanam investasi senilai Rp 5 triliun (klik sumber).

Terkait dengan kasus Lapindo, pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana media Bakrie Grup memberitakan kasus Lapindo?

Akhir Mei 2011 lalu, AnTV menanyangkan program televisi yang berisikan tentang nasib korban semburan lumpur Lapindo. Selama hampir satu minggu, TV milik Bakrie ini memenuhi televisinya dengan program-program semacam itu. Sementara itu TV One, TV milik Bakrie Grup yang lain, telah beberapa minggu sebelumnya menayangkan program pengajian di TVnya “Damai Indonesiaku” dengan mengambil lokasi di Porong, Sidoarjo.
Pesan yang disampaikan sama. Persoalan semburan Lumpur Lapindo telah selesai, masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo telah hidup sejahtera dengan ganti rugi yang diterimanya, Bakrie adalah orang yang baik, yang meskipun telah ditetapkan tidak bersalah oleh pengadilan, tetapi masih membantu korban semburan lumpur, tidak ada kerusakan lingkungan, dan penyebab semburan lumpur adlah gempa Jogja.
Tak ada gambaran sedikitpun tentang derita warga yang rumahnya ditenggelamkan lumpur, orang-orang yang masih tinggal di pengungsian tol Besuki, anak-anak yang tidak bisa sekolah, warga yang menderita sakit karena menghirup gas beracun, ekonomi warga korban yang kocar-kacir, rusaknya infrastruktur dan sarana publik, hingga hancurnya lingkungan di kawasan Porong.


Sementara itu, pada saat yang sama, 29 Mei 2011, ratusan warga dari seluruh desa di Porong, Sidoarjo, yang wilayahnya terkena dampak semburan Lumpur Lapindo, berunjukrasa dengan berjalan kaki di sepanjang Jalan Raya Porong. Aksi dilanjutkan dengan menggelar istigosah atau doa bersama di pinggir tanggul kolam penampungan lumpur di Desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo. Tuntutan warga masih tetap sama, meminta pemerintah tegas dalam melindungi hak-hak warganya yang telah ditenggelamkan Lumpur Lapindo.

Aksi tersebut ramai diberitakan oleh media, baik di tingkat nasional maupun media lokal di Jawa Timur. Karena saat itu adalah lima tahun Lapindo telah menenggelamkan kota Porong. Namun aksi ini tak diberitakan secara proporsional oleh media-media milik Bakrie, macam TVOne, ANTV dan VivaNews.
Kejadian seperti itu bukan kali itu saja terjadi. Pada peringatan semburan Lumpur Lapindo di tahun sebelumnya, ANTV menayangkan sinetron yang isinya tentang nasib korban lumpur Lapindo yang digambarkan telah keluar dari penderitaan. Bahkan di dalam sinetron tersebut diceritakan sosok Bakrie yang pemurah, meski telah dinyatakan tidak bersalah sebagai penyebab semburan lumpur, tetapi tetap mau mengganti lahan masyarakat yang terendam lumpur.
TV One menyebut semburan lumpur sebagai Lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo. Bahkan TV itu secara khusus mewawancarai pakar geologi Rusia Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran (klik sumber). Sementara pendapat pakar yang menyatakan bahwa semburan lumpur akibat pengeboran tidak diwawancarai.
Menurut saya, penyebutan semburan lumpur dengan lumpur Sidoarjo mengarahkan opini publik bahwa semburan itu adalah bencana alam bukan akibat pengeboran.
Hal yang sama juga terjadi di ANTV. Televisi milik Bakrie Grup itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo. ANTV juga menayangkan pendapat Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran (klik sumber). Seperti halnya TV One, pakar yang menyatakan bahwa semburan lumpur akibat pengeboran tidak dimintai pendapat.

Hal yang sama juga terjadi pada vivanews.com. Portal berita milik Bakrie Grup itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo, bukan lumpur Lapindo. Di saat yang hampir bersamaan pula portal berita itu menampilkan pendapat pakar geologi Rusia yang menyatakan semburan lumpur bukan akibat pengeboran (klik sumber). Liputan khusus terhadap pakar Rusia juga ditampilkan secara audio-visual di portal vivanews.com (klik sumber).

Pengalihan istilah dari “Lumpur Lapindo” menjadi “Lumpur Sidoarjo” ini sengaja dilakukan, terutama oleh media-media milik Bakrie, dengan tujuan untuk pencitraan dan mengaburkan persoalan yang selama ini terjadi. Penghilangan istilah “Lumpur Lapindo” sejatinya telah menghilangkan nama perusahaan Lapindo Brantas dari pusaran kasus ini. Dengan makin seringnya istilah “Lumpur Sidorajo” digunakan, maka masyarakat akan digiring bahwa semburan lumpur ini bukan disebabkan oleh kesalahan pihak Lapindo Brantas dalam pengeboran gas di Sumur Banja Panji 1 ini.

Padahal, kasus Lapindo tidak sekedar persoalan semburan lumpurnya saja. Tetapi ada persoalan tak adanya akses informasi untuk warga terhadap bahaya lumpur, perijinan tambang migas di kawasan padat huni, serta pengelolaan migas secara umum.


Informasi Kasus Lapindo Yang Tidak Periodik

Meskipun kejadian semburan Lumpur Lapindo telah 7 tahun lamanya, intensitas pemberitaannya dari waktu ke waktu justru semakin menurun. Kasus Lapindo hanya dimuat pada waktu-waktu tertentu saja, seperti peringatan 6 tahun semburan Lumpur Lapindo. Ketika warga melakukan demo besar-besaran menuntut ganti rugi yang sering tersendat. Atau ketika ada warga yang sakit parah karena bermunculannya gelembung-gelembung gas beracun di lingkungannya.

Padahal, masalah Lapindo tidak berhenti disitu saja. Banyak hal  yang telah dihancurkan akibat semburan Lumpur Lapindo. Ketika informasi yang disampaikan kepada publik terputus-putus, maka masyarakat tak bisa memahami kasus lapindo secara menyeluruh.

Belum lagi kedalaman informasi yang disampaikan. Seringkali informasi yang disampaikan oleh media hanya informasi singkat kejadian. Kurangnya penggalian informasi membuat informasi yang disajikan menjadi tidak mengena. Kaitan kejadian satu dengan yang lain seringkali tak dihubungkan, sehingga membuat berita yang disajikan mentok disitu saja. Akhirnya, tak ada informasi baru menjadi alasan bagi media untuk tak memberitakan kasus lapindo.


Gagal Membangun Sikap Kritis

Pemberitaan media dalam memberitakan kasus semburan lumpur Lapindo tak mampu membangun sikap kritis masyarakat. Ini terlihat dari sudut pandang pemberitaan yang seragam. Hampir semua media massa mengambil sudut pandang soal ganti rugi. Secara sadar atau tidak, sikap ini turut mengukuhkan wacana yang dibuat oleh pihak Lapindo, yang menggeser permasalahan semburan Lumpur Lapindo menjadi hanya sekedar persoalan jual beli aset.

Padahal, persoalan semburan lumpur Lapindo bukan sekedar jual beli aset. Masih banyak persoalan yang lain, seperti hilangnya tatanan sosial dan sejarah warga, tercemarnya lingkungan, udara dan air tanah warga, hilangnya kesempatan anak-anak untuk meneruskan sekolah, hancurnya tata produksi warga, meningkatnya biaya kesehatan, hilangnya tali persaudaraan dan sebagainya.

Kondisi ini pernah dikritik oleh Ketua Pusat HAM Ubaya, Yoan Nursari Simanjuntak. Media dianggap belum mampu menjalankan kode etik jurnalistik secara tepat. Harusnya media melakukan liputan terhadap analisis risiko secara menyeluruh. Sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi jurnalisme, dengan memperbanyak tulisan tentnag lingkungan, korban, potensial korban dan dampak semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh dan seimbang.

Fenomena ini tak dapat dipungkiri berkaita erat dengan membanjirnya “iklan” Lapindo di media massa. Jika di bulan Agustus 2006 Lapindo memasang iklan sehalaman penuh di beberapa media cetak nasional dan daerah, setelah itu, Lapindo menggunakan tangan para pakar dan akademisi untuk menyampaikan misinya.


Dalam tesis Anton Novenanto, dijelaskan bahwa untuk kasus semburan Lumpur Lapindo, Bakrie Grup (bukan Lapindo) menyediakan dana sebesar 1 milyar rupiah untuk satu media. Dana itu digunakan hanya untuk pendekatan komersial agar bisa masuk ke media massa. Lewat dana ini, yang dikemas dalam bentuk belanja iklan, kekritisan media diuji.

Tak Cuma itu saja, Bakrie Grup juga memproduksi surat berita Solusi dan mengelola situs www.mudvolcano.com untuk membanjiri informasi kepada masyarakat.


Voice of Voiceless

Pemberitaan media terhadap kasus semburan Lumpur Lapindo yang sedikit sekali berpihak kepada masyarakat korban, memunculkan media-media alternatif yang dikelola masyarakat korban lumpur Lapindo, untuk menyampaikan kepada publik tentang kondisi di Porong yang sebenarnya.

Sebut saja portal korbanlapindo.info, radio Suara Porong, Radio Kanal Besuki Timur (KBT), newsletter Kanal, blog dan komunitas video yang banyak muncul di masyarakat sekitar semburan Lumpur Lapindo.

Media alternatif warga korban Lumpur Lapindo ini, selain untuk mengabarkan apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo, juga untuk mengimbangi informasi-informasi yang disampaikan oleh media mainstream sehingga masyarakat dapat menangkap kejadian secara utuh.

Bagi masyarakat korban sendiri, media-media ini dapat menjadi pencerahan dan menyambungkan informasi kejadian yang terjadi di masyarakat korban itu sendiri.

Tentu saja, media alternatif yang dibuat oleh masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo, bukan untuk menandingi  media-media besar, terutama media-media milik Bakrie Grup. Karena media alternatif warga ini jangkauannya terbatas. Masyarakat korban hanya ingin informasi yang muncul di publik seimbang dan menyuarakan suara masyarakat korban, yang makin tak banyak disuarakan.


Kalian Percaya yang Mana?

Gencarnya pemberitaan terkait kasus Lapindo yang dilakukan oleh media-media milik Bakrie Grup ternyata tak mempengaruhi persepsi masyarakat luas.

Hasil survey online 5 tahun Lumpur Lapindo yang dilakukan Satu Dunia pada bulan Mei 2011, dengan 72 responden yang mengisi kuisioner, semua responden masih mengingat peristiwa semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang terjadi pada 29 Mei 2006 lalu.


Penyebab semburan, yang oleh pihak Lapindo selalu digembar-gemborkan karena bencana alam Gempa Jogja, baik di media cetak, maupun televisi, hingga iklan-iklan yang ditebarkan grup Lapindo, ternyata tak mempengaruhi persepsi publik. 99% responden menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur terkait dengan kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.


Terkait dengan pemberitaan di media massa, para responden menganggap Metro TV, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan Detik.com yang paling baik mengulas kasus semburan Lumpur Lapindo.


Diantara media televisi berikut, media mana yang paling baik memberitakan persoalan Lumpur Lapindo?



Diantara media massa (koran) cetak berikut ini, media mana yang pemberitaannya paling baik terkait kasus Lapindo?



Diantara media online berikut, media mana yang paling baik mengulas kasus Lumpur Lapindo?


Meski media-media milik Bakrie Grup terus menerus melakukan pencitraan pada kasus semburan Lumpur Lapindo, dengan mengarahkan penyebab semburan karena bencana alam, hingga menyampaikan kepada publik bahwa masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo telah sejahtera dengan ganti rugi yang diberikan oleh Lapindo, tetapi publik yang diwakili oleh responden survey online Satu Dunia menyatakan bahwa sebagian besar tidak percaya dan meragukan informasi tentang kasus Lumpur Lapindo yang diberitakan oleh media massa Bakrie Grup.


Responden pun sebagian besar setuju bahwa kasus semburan Lumpur Lapindo ini bukan sekedar kasus semburan lumpur, tetapi terkait dengan persoalan perijinan tambang di kawasan padat huni dan liberalisasi sektor minyak dan gas bumi di Indonesia.


Bagaimana anda melihat kasus semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo?


Dalam lomba Penulisan Artikel Lima Tahun Kasus Lapindo “KASUS LAPINDO Yang Saya Tahu” yang diikuti oleh 47 peserta dari berbagai daerah, seperti Palembang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Medan dan beberapa kawasan lain, semua peserta menyampaikan bahwa semburan lumpur di Sidorajo bukanlah bencana alam, tetapi terkait dengan aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas.

Dan ini seiring dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada saat Debat Calon Presiden Republik Indonesia putaran pertama, 18 Juni 2009. SBY menyampaikan bahwa Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur.



Cheers,
-GJG-

Sumber: media online seperti di link.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar