Senin, 30 Maret 2015

DITULIS AJA KALI

Rasanya udah lama banget. Nulis bebas tanpa keteraturan. Menuangkan segala kata yang ada di dalam pikiran tanpa perlu pusing-pusing memikirkan rima, diksi, dan segala tetek bengek lainnya agar tulisan terlihat indah. Kadang kala, keteraturan lebih mudah membuat kejenuhan, keseragaman kata yang mungkin itu-itu saja cenderung membuat bosan, jengah, dan menimbulkan efek "Apaan sih? Itu mulu yang dibahas". Justru malah sebaliknya, ada beberapa hal yang akan lebih terlihat keindahannya dalam bentuk kebebasan tanpa keteraturan. Rona pelangi, aurora, dan lain sebagainya.

Apapun itu. Buat aku, nulis mah ya nulis aja. Tulis saja semua kata yang dikehendaki hati dan pikiran untuk dituangkan. Menulislah karena menulis itu menyenangkan. Hal itu juga yang kerap membuat aku belajar untuk terus nulis. Biarin aja orang bilang apaan terkait penilaian mereka tentang tulisan yang aku buat. Telen aja buledh-buledh. Lha mereka aja bisa nilai kan karena baca dulu. Jadi ya terima saja. Masih mending mereka mau baca. Hhh...

Waktu nulis tulisan ini, hujan belum berhenti sejak seharian. Pelataran rumah uda jelek dan kotor banget kena tempias sama daun-daun jatuh yang kebawa angin. Jadi kepikiran bisa berubah jadi sapu sama payung. Biar kalau hujan masih bisa bersihin rumah tanpa kebasahan.

Hujan itu ikhlas banget ya? Terus menerus turun. Lalu tiba-tiba berhenti. Entah esok, lusa, atau lain waktu bakal datang lagi. Ga peduli dianggap membawa sejuknya hari atau dicap sebagai perusak momen-momen kebahagiaan hati. Ikhlas datang. Ikhlas pergi. Ikhlas untuk kembali lagi.

Semestinya, dalam nulis juga kayak gitu. Ikhlas. Ga peduli pada penilaian baik. Ga peduli pada penilaian buruk. Terus aja nulis. Sebab dalam keterbiasaan kita mampu belajar banyak hal. Pembelajaran dan pengalaman agar tulisan dapat terus berkembang. Ga ada sejarahnya orang tekun dapat hasil yang sia-sia. Setidaknya, itu adalah upaya untuk memperbaiki apa yang pernah diusahakan. Ketekunan, pada akhirnya akan membawa kedamaian dan ketenangan di hati kita sendiri. Sebab, cepat merasa puas hanya akan membuat kita diam. Hingga akhirnya tak mencapai hakikat perubahan.

Nulis mah nulis saja. Seperti hujan. Ikhlas. Ga peduli pada penilaian baik. Ga peduli pada penilaian buruk. Terus aja nulis. Sampai suatu saat datang keindahan paling dinanti: pelangi. Saat ketika seseorang dengan senyum berkata, "Terima kasih atas tulisannya, sungguh menginspirasi." Atau di lain waktu membaca chat salah satu pembaca, "Terima kasih atas tulisannya, banyak makna yang dapat dipahami. Teruslah menulis."

Tak ada kebahagiaan paling besar selain penghargaan tulus tanpa kebohongan.

Menulislah untuk kebahagiaan dirimu sendiri. Jangan disimpan dalam draft doang atau dalam pikiran. Bukan untuk dipamerkan minimal untuk mengetahui berkembangnya pola pikir kita.


Cheers,
-GJG-

Jumat, 20 Maret 2015

KEPADAMU KASIH

Jangan terlalu lama bertanya tentang diri.
Jika akhirnya malah terpuruk dan mati.

"Tiada yang sempurna di dunia, namun semua dapat diupayakan menjadi lebih baik."

Maka begini saja.
Bermimpilah seperti apa yang ingin kamu impikan.
Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan.
Berbahagialah sekarang jangan menunggu kebahagiaan datang.
Tebarkan sedikit manis senyummu padaku maka akan terburai lebar senyumku membalas.
Bersikap ramah dan hangat kepada setiap yang dekat.
Tersenyum, tertawa, ceria, dan berbahagia atas keadaan apapun yang dirasa.

"Rencana Tuhan adalah kebaikan atau jalan menuju kebaikan."

Maka jangan rendahkan diri.
Jadikan iri sebagai motivasi perbaikan diri.
Tak ada diri yang lebih baik, selain dirimu sendiri.

Berbahagialah atas anugerah kehidupan yang Tuhan berikan.
Bersabar dan bersyukur adalah kawan terbaik untuk menjalani kehidupan.

Sabar adalah mengupayakan perbaikan.
Sementara syukur adalah menerima apapun keputusan akhir yang Tuhan berikan.

"Jadilah salju dalam gurun. Berani beku dalam terik. Berani putih dalam gersang. Aku percaya Valent bisa. Karena Valent, berbeda...."


Pengasihmu,

-GJG-

APA-APA TENTANGMU, IBU


"Pada rumah yang dulu tidak pernah memintaku untuk pulang, pernah ada punggung tangan wanita tua yang setia menunggu untuk aku cium."

Aku mengenalnya sebagai surga berjalan. Gurat ketegaran dan kelembutan terpancar dari wajahnya sekaligus. Tutur sapanya yang lembut setia membuatku terjaga dari tidur yang lelap saat pagi yang gigil begitu memaksa mata untuk tetap terpejam.
"Bangun, nak. Sudah jam 5. Misa pagi dulu, nanti pulang gereja diteruskan lagi tidurnya."
Aku ingat betapa banyak bulir peluh yang menetes di pelipis wajahnya. Saling berkejaran menjelma pelari marathon yang terengah mencapai garis tepi tujuan. Juga tentang seka air mata yang mengalir deras di pelupuk mataku.
"Bersabar, nak. Teruskan langkah. Pada akhirnya semesta hanya melihat usaha yang kita lakukan. Yang kemudian akan bahu membahu membantu untuk mewujudkan. Sungguh, pertolongan itu sangat dekat. Hanya ketika kita mau percaya dan mengimaninya."

Pada segalamu aku belajar banyak hal. Keteguhan, ketulusan, ketegaran, kesetiaan untuk percaya bahwa sabar dan syukur adalah sebaik-baiknya penerimaan. Aku telah jauh melangkah. Perlahan menyusuri jejak-jejak impian. Tertatih mengemas usaha untuk mewujudkan. Bersama lirih-lirih doa yang kau ajarkan.
"Doa adalah senjata orang beriman. Maka jangan angkuh dan pongah merasa bahwa segala dapat kauupayakan sendirian. Serahkan pada Tuhan yang menciptakan segala kekuasaan."
Di semestaku yang sekarang, aku telah banyak melupakan. Berjalan angkuh bak raja yang tak mengenal siapa yang menciptakan. Kokoh berusaha mewujudkan segala angan yang ada dalam benak. Pura-pura lupa untuk peduli pada segala masa lalu yang mengajarkan ketegaran dalam berpijak. Aku telah melupakanmu.

Sampai suatu ketika langit menamparku. Membuat tersadar bahwa selama ini aku terlalu jauh meninggalkanmu. Tepat di tanggal enam belas desember dua ribu empat belas, aku mendapati sebuah pesan singkat yang masuk ke telepon genggamku.
"Segera pulang. Ibu telah tiada."
Langit-langit di atas kepala seketika runtuh. Kaki yang selama ini tegar tak tergoyah seketika meruntuh pasrah. Berputar kenangan masa silam dimana engkau mengajariku berjalan. Lamat-lamat menatap lekat mataku seolah mengatakan,
"Ayo, nak. Engkau bisa."
Hari ini aku kembali mengenangmu. Tiga bulan lebih sudah kau terbujur di dalam lubang pengap pusara keabadian. Dan aku masih belum lupa segala ingatan tentangmu. Maafkan aku yang sepenuhnya ikhlas melepas kepergianmu. Biarkan segala penyesalan ini tetap ada, hanya agar aku bisa belajar bahwa tak ada cinta paling sejati selain cinta ibu kepada anaknya. Sehingga dapat membuatku terus berbuat baik hingga masa akhir pengembaraan kehidupan.

Selamat jalan ibu.
Tenanglah di sisiNya.
Berbahagia di dalam surga yang mengalir sungai di bawahNya.


Salam,
anak ketigamu.

Selasa, 17 Maret 2015

IBUKU SEORANG KULI KAPUR

Pernah, suatu petang Ibuku pulang dengan tangan berdarah,
“Papan tulis ada paku yang tercampur, Van. Sewaktu keasyikan menulis dengan kapur”, terang ibu sambil tersenyum.
Aku tersentak diam. Tanpa banyak kata, kuambilkan betadine untuk membersihkan lukanya. Sempat terusik batin dengan pertanyaan: “Tuhan, adakah ia letih?”

Ibuku bernama Sri Heri Agustiani. Sejak kecil aku biasa menyapanya dengan sebutan ibu. Tak masalah kalau si Valent menganggapnya itu panggilan yang ndeso. Karena 22 Desember adalah Hari Ibu bukan Hari Mama ataupun Hari Bunda. Sudahlah, tak banyak kata yang bisa menggambarkan betapa hebat sosok ibu di mataku. Begitu banyak cinta, kasih, sayang, juga ilmu kehidupan yang beliau berikan dan ajarkan kepadaku. Dalam suatu kesempatan ibu pernah berkata:
“Le Van, dengarkan ini baik-baik. Kasih sayang Tuhan terkadang datang menemui kita dengan topeng berbentuk rasa sakit, kesedihan, kecewa juga luka. Jangan takut! Tersenyumlah! Temui ia dengan dada yang lapang, kebesaran hati, kesabaran dan selaksa rasa syukur. Maka, lihatlah! Perlahan ia akan memelukmu dengan bentuk aslinya.” Entah, dari mana ibu mendapatkan kata sehebat itu, yang pasti kalimat itu kembali terngiang dalam hati, menguatkanku ketika aku memberi semangat ke Valent untuk menyapa Tuhan.
Suatu malam, aku terjaga. Aku menyaksikan ibu khusyuk membaca Alkitab usangnya. Sayup-sayup kudengar satu-satu nama kami disebut. Bulir bening perlahan jatuh seiring senandung doa yang ibu lafalkan. Ibu menangis menghamba, mengharapkan Tuhan menjaga dan membimbing kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga karena pernah melahirkan kami.

Selepas kumandang subuh, ibu membangunkan aku, bapakku, dan si Owen yang kala itu masih menginap di rumah. Sepulang kami misa pagi di gereja, ibu menyiapkan kostum khususnya, seragam, buku bahan ajar, dan yang pasti tak lupa adalah nametag yang selalu disematkan diatas kantung dada. Melanjutkan aktifitasnya sebagai tenaga didik yang konon disebut sebagai pahlawan tanda jasa.


Ibuku adalah seorang kuli kapur. Menawarkan jasanya kepada para anak-anak yang siap untuk menuntut ilmu di daerah tempat tinggalku. Tak pernah kudengar ia mengeluh meski teramat penuh badannya dengan peluh. Keseharian ibu selalu terlibat dengan buku dan kapur (mungkin saat ini sudah spidol), pagi menulis di papan tulis, siang mnegawasi anak murid bahkan tak segan untuk menghukum yang bandel, dan malam adalah waktunya untuk bercengkerama dengan suami dan anaknya. Satu pertanyaanku kala itu, “Tuhan, kapankah ia terlelap?”

Ada satu kesempatan lain yang membuatku tak mungkin melupakan kejadian itu. Suatu ketika yang membuatmu ibu marah. Kala itu saat memandangi foto wisuda pasca-ku  terceplos dari bibirku mengatakan ke ibu “Ih, cerewet ibu nih. Semua dikomentari”, ucapku. Dengan sebal ibu meneteskan airmatanya kemudian terdengar isak tangisnya. Seketika aku diam, tersedak. Tak mampu melanjutkan percakapan. Aku pun meminta maaf.

Di waktu yang lain, dalam lemah rapuhnya, tak pernah sekalipun ibu menyesalkan keadaan yang dianugerahkan Tuhan, “Tak apa Le, ini bentuk kasih sayang Tuhan. Kenyataan bahwa kita masih mampu untuk tersenyum itu jauh lebih hebat dari sekedar kegetiran hidup yang kita rasakan.”, ucap ibu menguatkan. Aku tak tahu perihal apa yang membuat ibu menjadi sosok yang begitu tegar serupa karang juga begitu lembut seperti bulu angsa ketika ia memberi perhatian kepada kami, anak-anaknya. Pernah, suatu kali ibu bertanya khawatir tentang keadaan tetangga kepadaku, “Le, punya temen yang butuh tukang ga? Kasihan tuh Om Paulus Tukan, sudah ga kerja lagi.” Padahal aku tahu, ketika itu justru keadaan keluargaku-lah yang sebenarnya butuh perhatian dari orang lain. Hatiku bergetar. Satu pertanyaanku ketika itu : “Tuhan, adakah ia pernah berkesah?”

----------------


Kini, setelah begitu panjang perjalanan hidup yang ia susuri. Setelah begitu banyak rinai tangis dan butir doa yang ia panjatkan kepada keharibaan Tuhan. Tak akan aku bertanya lagi apakah ibu lelah. Karena aku yakin dan percaya. Dan aku teramat tahu: IBUKU TANGGUH!!!

PS:
“Bersyukurlah bagi kalian yang masih bisa memandang riang wajah malaikat tanpa sayapmu, sebab Tuhan masih percaya bahwa kalian akan mampu membuatnya menangis haru karena bahagia telah sempat melahirkanmu.”
“Bersyukurlah bagi kalian yang telah ditinggalkan malaikat tanpa sayapmu, sebab itulah cara terbaik dari Tuhan untuk memberi kebahagiaan abadi bagi ibumu. Surga yang mengalir sungai di bawahnya.”

Untukmu :

Segera!
Rengkuh.
Peluk.
Cium.
Tatap.
Dan katakan:
“AKU SAYANG IBU”


Salam,
anak ketigamu.

Sabtu, 14 Maret 2015

BERSERAH TAK SEKEDAR MENYERAH AKAN LELAH

“Sesekali, kau perlu menyerah pada kegagalan. Untuk sekadar menerima bahwa kau memang tak bisa. Lalu mencari jalan lain untuk menemukan kebahagiaan baru.”

Kita pernah mempertahankan sesuatu, —cinta, impian, pekerjaan, atau apa saja yang menurut kita adalah kebahagiaan— hingga menafikan luka, rasa sakit, kepedihan, dan kegetiran yang bertubi-tubi menghadang. Hanya karena begitu kukuh meyakini bahwa itu adalah kebahagiaan yang paling benar. Tak peduli lagi pada kebaikan diri sendiri. Wajah yang bercahaya saat melangkah kali pertama perlahan meredup, dipenuhi coreng moreng. Kebahagiaan yang kita kira akan tergapai dan terpeluk, justru menjauh. Tapi, bukannya berhenti, justru kita malah berusaha meyakini diri sendiri bahwa kebahagiaan itu mampu kita raih.

Kita pernah melupakan sesuatu, —wajah, suasana, jalan, dan segala hal baru di tempat yang lain— demi mempertahankan hal yang bukan menjadi milik kita. Merelakan diri sendiri untuk merasakan sakit dan luka tiada habisnya. Padahal, sesuatu yang bukan menjadi milik kita, sekeras apapun kita berusaha, tetap tak akan pernah menjadi milik kita. Sesuatu yang bukan diciptakan untuk kita, pada akhirnya akan tetap berlalu dan menghilang juga.

Andai aku menjadi Tuhan, maka kemarilah... Duduklah dengan sabar di sampingku. Akan kusampaikan sebuah rahasia besar. Tak semua orang dapat memahami ini dengan baik. Jadi, dengarlah dengan hati yang lapang:
“Akan selalu ada yang lebih baik, bahkan dari kebahagiaan yang kau kira paling benar. Kau hanya perlu membuka matamu lebih lebar lagi, memperluas langkah kakimu lebih jauh lagi, membesarkan hatimu sendiri untuk menyerah pada kegagalan, lalu menerima dengan tulus bahwa kau memang tak diciptakan untuk meraihnya. Kelak, akan datang hal terbaik yang benar-benar kau butuhkan, bukan sekadar keinginan yang kau angankan. Sesuatu yang dipersiapkan Tuhan untuk menjadi milikmu yang teristimewa; kebahagiaan yang sempurna.”


Cheers,
-GJG-