"Pada rumah yang dulu tidak pernah memintaku untuk pulang, pernah ada punggung tangan wanita tua yang setia menunggu untuk aku cium."
Aku mengenalnya sebagai surga berjalan. Gurat ketegaran dan kelembutan terpancar dari wajahnya sekaligus. Tutur sapanya yang lembut setia membuatku terjaga dari tidur yang lelap saat pagi yang gigil begitu memaksa mata untuk tetap terpejam.
"Bangun, nak. Sudah jam 5. Misa pagi dulu, nanti pulang gereja diteruskan lagi tidurnya."
Aku ingat betapa banyak bulir peluh yang menetes di pelipis wajahnya. Saling berkejaran menjelma pelari marathon yang terengah mencapai garis tepi tujuan. Juga tentang seka air mata yang mengalir deras di pelupuk mataku.
"Bersabar, nak. Teruskan langkah. Pada akhirnya semesta hanya melihat usaha yang kita lakukan. Yang kemudian akan bahu membahu membantu untuk mewujudkan. Sungguh, pertolongan itu sangat dekat. Hanya ketika kita mau percaya dan mengimaninya."
Pada segalamu aku belajar banyak hal. Keteguhan, ketulusan, ketegaran, kesetiaan untuk percaya bahwa sabar dan syukur adalah sebaik-baiknya penerimaan. Aku telah jauh melangkah. Perlahan menyusuri jejak-jejak impian. Tertatih mengemas usaha untuk mewujudkan. Bersama lirih-lirih doa yang kau ajarkan.
"Doa adalah senjata orang beriman. Maka jangan angkuh dan pongah merasa bahwa segala dapat kauupayakan sendirian. Serahkan pada Tuhan yang menciptakan segala kekuasaan."
Di semestaku yang sekarang, aku telah banyak melupakan. Berjalan angkuh bak raja yang tak mengenal siapa yang menciptakan. Kokoh berusaha mewujudkan segala angan yang ada dalam benak. Pura-pura lupa untuk peduli pada segala masa lalu yang mengajarkan ketegaran dalam berpijak. Aku telah melupakanmu.
Sampai suatu ketika langit menamparku. Membuat tersadar bahwa selama ini aku terlalu jauh meninggalkanmu. Tepat di tanggal enam belas desember dua ribu empat belas, aku mendapati sebuah pesan singkat yang masuk ke telepon genggamku.
"Segera pulang. Ibu telah tiada."
Langit-langit di atas kepala seketika runtuh. Kaki yang selama ini tegar tak tergoyah seketika meruntuh pasrah. Berputar kenangan masa silam dimana engkau mengajariku berjalan. Lamat-lamat menatap lekat mataku seolah mengatakan,
"Ayo, nak. Engkau bisa."
Hari ini aku kembali mengenangmu. Tiga bulan lebih sudah kau terbujur di dalam lubang pengap pusara keabadian. Dan aku masih belum lupa segala ingatan tentangmu. Maafkan aku yang sepenuhnya ikhlas melepas kepergianmu. Biarkan segala penyesalan ini tetap ada, hanya agar aku bisa belajar bahwa tak ada cinta paling sejati selain cinta ibu kepada anaknya. Sehingga dapat membuatku terus berbuat baik hingga masa akhir pengembaraan kehidupan.
Selamat jalan ibu.
Tenanglah di sisiNya.
Berbahagia di dalam surga yang mengalir sungai di bawahNya.
Salam,
anak ketigamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar