Pernah, suatu petang Ibuku pulang dengan tangan berdarah,
“Papan tulis ada paku yang tercampur, Van. Sewaktu keasyikan menulis dengan kapur”, terang ibu sambil tersenyum.Aku tersentak diam. Tanpa banyak kata, kuambilkan betadine untuk membersihkan lukanya. Sempat terusik batin dengan pertanyaan: “Tuhan, adakah ia letih?”
Ibuku bernama Sri Heri Agustiani. Sejak kecil aku biasa menyapanya dengan sebutan ibu. Tak masalah kalau si Valent menganggapnya itu panggilan yang ndeso. Karena 22 Desember adalah Hari Ibu bukan Hari Mama ataupun Hari Bunda. Sudahlah, tak banyak kata yang bisa menggambarkan betapa hebat sosok ibu di mataku. Begitu banyak cinta, kasih, sayang, juga ilmu kehidupan yang beliau berikan dan ajarkan kepadaku. Dalam suatu kesempatan ibu pernah berkata:
“Le Van, dengarkan ini baik-baik. Kasih sayang Tuhan terkadang datang menemui kita dengan topeng berbentuk rasa sakit, kesedihan, kecewa juga luka. Jangan takut! Tersenyumlah! Temui ia dengan dada yang lapang, kebesaran hati, kesabaran dan selaksa rasa syukur. Maka, lihatlah! Perlahan ia akan memelukmu dengan bentuk aslinya.” Entah, dari mana ibu mendapatkan kata sehebat itu, yang pasti kalimat itu kembali terngiang dalam hati, menguatkanku ketika aku memberi semangat ke Valent untuk menyapa Tuhan.
Suatu malam, aku terjaga. Aku menyaksikan ibu khusyuk membaca Alkitab usangnya. Sayup-sayup kudengar satu-satu nama kami disebut. Bulir bening perlahan jatuh seiring senandung doa yang ibu lafalkan. Ibu menangis menghamba, mengharapkan Tuhan menjaga dan membimbing kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga karena pernah melahirkan kami.
Selepas kumandang subuh, ibu membangunkan aku, bapakku, dan si Owen yang kala itu masih menginap di rumah. Sepulang kami misa pagi di gereja, ibu menyiapkan kostum khususnya, seragam, buku bahan ajar, dan yang pasti tak lupa adalah nametag yang selalu disematkan diatas kantung dada. Melanjutkan aktifitasnya sebagai tenaga didik yang konon disebut sebagai pahlawan tanda jasa.
Ibuku adalah seorang kuli kapur. Menawarkan jasanya kepada para anak-anak yang siap untuk menuntut ilmu di daerah tempat tinggalku. Tak pernah kudengar ia mengeluh meski teramat penuh badannya dengan peluh. Keseharian ibu selalu terlibat dengan buku dan kapur (mungkin saat ini sudah spidol), pagi menulis di papan tulis, siang mnegawasi anak murid bahkan tak segan untuk menghukum yang bandel, dan malam adalah waktunya untuk bercengkerama dengan suami dan anaknya. Satu pertanyaanku kala itu, “Tuhan, kapankah ia terlelap?”
Ada satu kesempatan lain yang membuatku tak mungkin melupakan kejadian itu. Suatu ketika yang membuatmu ibu marah. Kala itu saat memandangi foto wisuda pasca-ku terceplos dari bibirku mengatakan ke ibu “Ih, cerewet ibu nih. Semua dikomentari”, ucapku. Dengan sebal ibu meneteskan airmatanya kemudian terdengar isak tangisnya. Seketika aku diam, tersedak. Tak mampu melanjutkan percakapan. Aku pun meminta maaf.
Di waktu yang lain, dalam lemah rapuhnya, tak pernah sekalipun ibu menyesalkan keadaan yang dianugerahkan Tuhan, “Tak apa Le, ini bentuk kasih sayang Tuhan. Kenyataan bahwa kita masih mampu untuk tersenyum itu jauh lebih hebat dari sekedar kegetiran hidup yang kita rasakan.”, ucap ibu menguatkan. Aku tak tahu perihal apa yang membuat ibu menjadi sosok yang begitu tegar serupa karang juga begitu lembut seperti bulu angsa ketika ia memberi perhatian kepada kami, anak-anaknya. Pernah, suatu kali ibu bertanya khawatir tentang keadaan tetangga kepadaku, “Le, punya temen yang butuh tukang ga? Kasihan tuh Om Paulus Tukan, sudah ga kerja lagi.” Padahal aku tahu, ketika itu justru keadaan keluargaku-lah yang sebenarnya butuh perhatian dari orang lain. Hatiku bergetar. Satu pertanyaanku ketika itu : “Tuhan, adakah ia pernah berkesah?”
----------------
Kini, setelah begitu panjang perjalanan hidup yang ia susuri. Setelah begitu banyak rinai tangis dan butir doa yang ia panjatkan kepada keharibaan Tuhan. Tak akan aku bertanya lagi apakah ibu lelah. Karena aku yakin dan percaya. Dan aku teramat tahu: IBUKU TANGGUH!!!
PS:
“Bersyukurlah bagi kalian yang masih bisa memandang riang wajah malaikat tanpa sayapmu, sebab Tuhan masih percaya bahwa kalian akan mampu membuatnya menangis haru karena bahagia telah sempat melahirkanmu.”
“Bersyukurlah bagi kalian yang telah ditinggalkan malaikat tanpa sayapmu, sebab itulah cara terbaik dari Tuhan untuk memberi kebahagiaan abadi bagi ibumu. Surga yang mengalir sungai di bawahnya.”
Untukmu :
Segera!
Rengkuh.
Peluk.
Cium.
Tatap.
Dan katakan:
“AKU SAYANG IBU”
Salam,
anak ketigamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar