(2012)
Doi menulis alinea keempat. Menimbang-nimbang apakah doi perlu memesan satu gelas bir lagi dengan risiko honornya amblas demi sedikit memanjakan perasaan. Doi memutuskan untuk memesan bir ketiga dan akan menyuap pelayan dengan imbalan lima puluh ribu rupiah (Rp 50k,-) supaya ga menagih biaya minuman yang doi pesan. Ga apalah korupsi kecil-kecilan. Toh ga akan membuat hotel berbintang lima ini gulung tikar hanya dengan ga membayar sepuluh botol bir sekalipun.
Kemang, Jkt. 24 Mei 2014. 3:19:21 AM. |
Doi serasa melayang. Menyentuh hujan, menggapai pepohonan, menyapa ombak pasang, mengecup pasir, menendang bebatuan, mencari bayang-bayang Rhencyta (bacanya Rensita, tokoh dalam fiktif) di dalam kegelapan malam.
Malam hadirkan bulan. Bulan cipta cahaya. Cahaya menyeka angkasa. Angkasa mengirim hujan. Hujan menyapa angin. Angin menggoyang perahu. Perahu tempat mereka bercinta dan menjalin lamanya delapan bulan berhubungan. Namun angin hanya menggoyang perahu mereka tanpa pernah mengirim ke pelabuhan. Pelabuhan dimana mereka bisa menepi dan membangun rumah bahagia dengan fondasi cinta. Angin hanya mengombang-ambingkan perahu dan menggulung ombak hingga mereka tertelan ke dalam samudera tanpa dasar.
***
Lounge itu mulai ramai, mendadak nuansa stage. Sudah saatnya untuk tahu diri dan memberikan tempatnya kepada pengunjung yang datang. Doi sudah beranjak menuju sudut backstage. Memantau crew yang sedang setting alat, dengan damai doi sambil memainkan playlist di iPod-nya yang akan menuntutnya untuk enerjik di atas stage.
Doi mempelajari songlist yang harus digebuk. Hampir semua lagu-lagu tentang kelas pekerja yang kembali mengingatkannya kepada Rensita. Mengingat akan perasaannya. Mengingat akan kerinduannya. Rindu akan kebersamaan. Rindu akan waktu yang tak terbatas (28 jam, hhh...). Rindu akan rasa memiliki. Rindu akan harapan yang selalu menjauh tak terjangkau hingga tanggal dan bulan kelahirannya di 24 tahun yang lalu. Selamat panjang umur, semoga ulangtahun.
Pandangannya tertumbuk pada pemandangan sebuah keluarga di depannya. Doi teringat kembali kepada orangtuanya. Teringat akan kehangatan rumah sebelum bundanya pergi. Teringat perubahan dan teror yang terjadi hingga doi memutuskan untuk angkat kaki dan ga pernah kembali.
Doi menggelengkan-gelengkan kepala mengusir kecamuk dalam pikirannya. Salah satu personil band mengingatkannya untuk bersiap-siap. Doi meneguk birnya sampai habis lalu berjalan menuju stage.
Lautan cahaya menari. Lautan tawa membahana. Lautan tepuk tangan menggelora. Semua berdesing-desing bagai letusan senapan di sekelilingnya ketika doi melihat sesosok gadis berdiri menatapnya. Gadis yang telah membuat hidupnya jungkir balik. Gadis yang telah membuat dirinya terasing dari dirinya sendiri. Gadis yang telah membuat hitam jadi putih, putih jadi kelabu, dan merah jadi ungu.
Musik telah dimulai. Gadis itu melempar senyuman. Ketukan snare dan ihate melantun gemulai, gadis itu memberi isyarat kecupan. Gitar melengking syahdu, gadis itu menucapkan selamat tinggal. Bas berirama sendu, gadis itu melambaikan tangan. Biola tergesek sunyi. Gadis itu pergi dan doi mulai menggebuk drum sekuatnya, tanpa dapat mendengar alunan musiknya.
Cheers,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar