Orang nomor 1 itu ibu. Orang nomor 2 guru.
Presiden tuh pegawai nomor 1.
Kali ini aku bukan mau nulis soal pemimpin, tapi aku mau nulis soal salah kaprah. Presiden, gubernur, bupati, dll itu bukanlah pemimpin. Mereka lebih tepatnya pegawai kita, maksimal direktur. Kitalah komisarisnya!!
Mindset-ku harusnya, kita pemilik sumberdaya, kita komisaris. Lalu kita mencari ketua dewan komisaris (pemilu tahun depan). Itulah pemimpin. Wakil-wakil komisaris hendaknya orang-orang berkuasa (ga harus kaya) sehingga jadi anggota Dewan Komisaris bukan buat nyari duit. Aku yang komisaris cutting edge ini cukup melimpahkan wewenang ke komisaris-komisaris yang punya power, yang aku pilih dari golonganku sendiri.
Pemimpin harus dari golongannya sendiri, itu betul, tapi hanya dalam menunjuk dewan komisaris. Bukan dalam nunjuk pegawai kayak gubernur.
Dengan demikian, presiden atau gubernur dan jabatan ecek-ecek lain ga harus dari golongan kita sendiri, lha wong derajat mereka cuma pegawai.
Dari sini seluruh mindset aku ubah. Kalau di jalan presiden didahulukan, bukan karena dia tertinggi. Tapi karena dia pegawai yang harus melaksanakan tepat waktu agenda-agenda kita sebagai komisaris negeri ini...maka presiden harus kita dahulukan.
Mindset-ku gini, presiden atau gubernur dll harus tepat waktu di perjalanan karena mereka pegawai kita. Kita boleh telat karena kita komisaris.
Lalu kenapa presiden kok mesti banyak yang minta foto bareng? Bukan karena mau ngagung-agungkan presiden, tapi agar mereka (yang minta foto) kelak bisa cerita ke anak-anaknya: Ini lho bapak ibumu pernah punya pegawai bernama SBY, Sri Sultan X, dll.
Marilah kita sama-sama kembali ke sejarah. Sejarah republik (lupa nama bukunya), di Barat umumnya dari munculnya orang-orang berpengaruh lalu berembuk sebagai komisaris, nyari pegawai (presiden). Kalau kita kebalik, dari mental terjajah lalu menunggu datangnya pemimpin (presiden). Mindset-ku bukan menentukan pegawai.
Eh, jangan ngetawain mindset-ku lho. Mindset itu kalau konsisten dan kolektif akan melahirkan atau membentuk fakta. Kalau mindset kita konsisten dan kolektif bahwa yang cantik adalah yang pesek, maka saat itu Dian Sastro jadi ga cantik lagi.
Kenapa kemarin aku blas ga nanggepin ucapan Selamat Hari Ibu dari kawan-kawanku? Karena Hari Ibu itu kan diambil dari tanggal kongres pertama perempuan di Yk tahun 40-an, tanda perempuan bergerak di sektor publik (politik dan sebagainya). Tapi kemudian salah kaprah payah, Hari Ibu jadi ucapan selamat ke perempuan sebagai istri dan ibu anak-anak, ke sektor domestik.
Berani tapi ga salah kaprah. Air bening ya air bening, jangan ikut arus jadi air putih (susu).
Lha terus ucapan Selamat Hari Ibu buat siapa, Jo?Tetep buat Ibu. Soalnya bagiku orang nomor 1 itu ibu. Orang nomor 2 guru. Presiden tuh pegawai nomor 1.
Jo, kalo ibuku aktif di sektor publik, PKK misalnya.Nah mestinya ucapan Hari Ibu diucapkan ke orang-orang kayak beliau yang pengalamannya pasti sudah segudang.
Tapi segudang apapun pengalaman perempuan, ga akan pernah mengalami pahit getirnya kejepit resleting. Hhh...ngawur.
Cheers,,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar