(2004)
Minggu adalah hari dimana semua umat manusia bisa hidup dengan damai setelah beberapa hari sebelumnya bapak-ibu beraktivitas dan bekerja keras bagaikan kuda. Begitupun dengan aku. Waktu itu aku bertekad akan istirahat total, demi bertahan hidup. Karna hari-hari sebelumnya aku kurang tidur akibat sibuk mengerjakan tugas. AKU MAU TIDUR 24 JAM PENUH! Tapi, hari minggu yang aku kira akan menjadi hari yang indah itu menjadi hari yang paling tragis dalam hidupku. Iya. Kisah sadis di hari minggu..
Sabtu malam. Aku berencana untuk tidur dari Minggu pukul 1 pagi, sampai Senin pukul 1 pagi. Rencana brilianku berjalan lancar ketika aku tertidur sekitar pukul 1. Dan semua kisah sadis dalam cerita ini dimulai dari awal aku membuka mata. Pukul 4 pagi, disaat ayam-ayam masih tertidur pulas, aku terbangun karena suara berisik yang berasal dari handphone-ku. Ada telpon masuk dari nomer tak dikenal. Awalnya aku reject. Karna aku termasuk tipe orang yang ga mau diganggu ketika sedang tidur. Walaupun ada ombak menyapu rumahku, kalo aku masih pengen tidur, aku ga bakal bangun. Tapi setelah aku reject berkali-kali, penelpon misterius itu ga mau nyerah. Dia tetap optimis bahwa telponnya bakal aku angkat. Akhirnya, aku yang nyerah. Aku nerima telpon itu dengan harapan, setelah aku terima, dia ga bakal nelpon lagi, dan aku bisa dengan tenang melanjutkan tidur.
"Hallo?"
"Hallo?" Ternyata si penelpon misterius ini adalah seorang bapak-bapak.
"Ini siapa ya?" Tanyaku.
"Ini opung kau! Lupa kau sama opung sendiri? Bah!"
Sampai di sini, aku merasa ada yang salah dengan orang ini. Pertama, dia berbicara dengan logat batak yang cukup kental. Sedangkan aku, ga pernah punya saudara orang batak. Kedua, spesies manusia macam apa yang nyariin saudaranya pagi-pagi buta.
"Salah sambung, om!"
"Ah macam mana bisa salah sambung! Jangan mengada-ada kau!"
"Sumpah, salah sambung!"
"Kau ini Sondang anaknya si Alex kan?"
"Bukaaaan. Saya Dimas. Bukan Sondang. Dan setau saya, saya ga punya bapak yang namanya Alex". Aku mencoba meyakinkan.
"Wah kalau begitu, aku salah sambung!"
"Kan tadi saya bilang begitu!!" Aku pun menutup telpon dan kembali melanjutkan tidur.
Beberapa menit kemudian, hp-ku kembali berbunyi..
Si penelpon misterius itu, menghubungi aku lagi. Terpaksa harus aku angkat karna aku tau, kalo ga aku angkat, dia pasti ga bakal berhenti nelponin aku.
"Apa lagi?"
"Jadi, Sondang mana Sondang?" Tanpa pikir panjang, aku langsung menutup telpon. Dan segera mematikannya. Sebelum aku reflek jual hp karna dibikin kesel sama opungnya si Sondang yang entah siapa itu.
Pukul 6 pagi. Aku terbangun lagi. Kali ini gara-gara hal yang ga kalah ngeselin dari sebelumnya. Aku terbangun gara-gara suara kucing kawin. Sengaja aku diemin karna aku pikir, kucing kawin biasanya ga lama. Paling cuma 5 menit.
30 menit kemudian...
Setaaan! Dua kucing ga tau aturan itu masih teriak-teriak. Aku harus nyari cara buat menghentikan perilaku amoral mereka. Dengan penuh rasa kesal, aku keluar rumah. Melempar sendal, yang entah sendal siapa, ke arah dua kucing yang sedang dimabuk asmara itu.
Setelah aku lemparin sendal, kucing betinanya kabur. Sedangkan kucing jantannya menatap sinis ke arahku. Matanya seakan berkata, "Biadab! Tunggu pembalasanku!" Tapi aku ga mau kalah. Aku juga membalas tatapan sinisnya, seraya berkata "APA KAU?!" Dan kucing mesum itu pun kabur.
Aku kembali ke kasur. Mencoba melanjutkan perjuangan menikmati setiap lekuk tubuh kasurku yang indah. Baru 5 menit tertidur, muncul lagi satu cobaan hidup dari Tuhan.
"TEVAANNN!" Suara teriakan ibuku, memecah keheningan. Bahkan hampir memecahkan gendang telinga setiap orang yang ada di sekitar komplek dalam radius 10 kilometer.
"Yaaa Mah? Kenapa?"
"Kamu uda bangun?"
"Belum nih"
"...."
Pagi itu ibuku iseng nyobain resep masakan yang dia baca dari sebuah majalah. Tanpa sadar bahwa keisengan dia secara nggak langsung sudah menyiksa dan mengorbankan darah dagingnya sendiri.
"Mamah lagi nyobain resep masakan dari majalah. Tapi, bahannya kurang"
"Terus?"
"Tolong beliin jeruk nipis ya!"
Saat itu aku seakan ada di situasi yang paling sulit dalam hidupku. Kalo aku tolak, aku khawatir akan langsung dikutuk jadi batu. Kalo aku turutin, hidupku akan semakin tersiksa. Harus masuk ke pelosok pasar dan dempet-dempetan dengan ibu-ibu bau balsem. Hanya demi seonggok jeruk nipis.
Setelah menatap mata ibu yang penuh ancaman, aku terpaksa memilih untuk menurut. Karna aku ga mau bernasib sama seperti Malin Kundang. Lagian ga keren banget dikutuk jadi batu cuma gara-gara jeruk nipis.
Dalam otakku, mencari jeruk di tengah pasar pasti gampang. Tinggal nanya dari satu tukang sayur ke tukang sayur lainnya, kelar. Tapi ternyata aku salah. Sesampainya di pasar, aku muter-muter nyari tukang jeruk nipis. Tukang sayur yang aku tanya, jawabnya cuma "di situ". Tanpa memberikan arah yang lebih spesifik. Satu jam berlalu. Aku masih belum menemukan si tukang jeruk nipis sialan ini. Perjalanan mencari jeruk nipis, terasa seperti perjalanan mencari 9 bola naga. (Eh, 7 apa 9? Ya pokoknya segitu lah).
Setelah nanya-nanya ke hampir semua pedagang, akhirnya aku menarik kesimpulan. Bahwa mungkin tukang jeruk nipis yang aku cari, hari itu sedang cuti. Pencarian gue adalah Mission Imposible. Aku pun kembali ke rumah. Tanpa hasil. Karna uda terlalu capek, aku uda ga peduli kalaupun nantinya aku dikutuk jadi batu sama ibu sendiri. Aku pasrah.
Matahari semakin terik. Setelah panas-panasan di jalan dalam perjalanan pulang, akhirnya aku sampai di rumah. Ada perasaan cemas yang mengganggu aku saat itu. Takut ketika aku kabarin bahwa aku pulang tanpa membawa jeruk nipis pesanannya, dia langsung shock, dan teriak "APAH?! TIDAK MUNGKIN!" Lalu dilanjutkan dengan adegan memegang dada. Matanya mengarah ke atas. Badannya kejang-kejang. Serangan jantung. Tapi kayaknya ga mungkin. Itu cuma terjadi di adegan-adegan sinetron dan ftv.
Aku memberanikan diri menghadapi kenyataan. Dengan perasaan cemas yang bercampur dengan rasa takut dikutuk jadi batu, aku berjalan ke dapur untuk bertemu dengan ibu. Dia terlihat sedang sibuk mengiris-ngiris wortel. Belum sempat aku bersuara, ibu uda menengok ke arahku.
"Eh. Gimana? Dapet jeruk nipisnya?" Aku seketika merasa seperti seorang spionase Amerika yang tertangkap di Rusia. Dan sebelum dieksekusi mati, ditanya dulu "ada kata-kata terakhir?"
"Jadi gini, mah.."
"Gimana gimana?"
"Uuuumm"
"Kamu pasti ga dapet jeruk nipisnya ya? Yaudah gpp. Ternyata setelah mamah periksa lagi, di kulkas, jeruk nipis masih banyak."
"Emanueel!"
Rasanya campur aduk. Antara lega dan kesel. Lega karna aku ga jadi dieksekusi mati, kesel karna uda buang-buang energi keliling pasar buat nyari jeruk nipis yang sebenernya uda ada di kulkas. Untuk yang kesekian kalinya, aku segera kembali ke haribaan kasur untuk kembali melanjutkan tidur. Ga lama, aku bisa tertidur lelap. Kali ini, aku bisa tidur sekitar 5 jam. Dari pukul 10 siang, terbangun di jam 3 sore. Lumayan.
Saking enaknya tidur, aku lupa dari kemaren sore belum makan. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, aku berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Cuma ada beberapa peralatan masak, piring-piring kotor, dan sendal jepit yang tergeletak tak berdaya di lantai. Sepertinya aku ga menemukan sesuatu yang bisa aku makan. Aku pun mencari ibu untuk meminta klarifikasi tentang kemana perginya masakan yang tadi dia masak.
"Maaaah.. maaaah..."
"Apaaaa?" ibuku menyaut. Suaranya berasal dari dalam kamarnya.
"Makanan yang tadi mamah masak, kemana?"
"Oh itu? Gagal. Rasanya aneh. Daripada ga ada yang makan, mamah kasih kucing aja"
"Yaaammpuuun.."
"Oh iya tadi Rensi ke sini." kata ibuku, mencoba membahas topik lain sebagai pengalihan isu atas kegagalannya memberi makan anaknya. "Dia nyari kamu. Tapi kamunya ga bisa dibangunin"
"Terus?"
"Ya dia pulang. Dia nunggu kamu di rumahnya".
Renchyta (ini nama samaran) adalah cewekku. Kami uda jalan 3 tahun lebih. Akhir-akhir ini, hubungan kami agak renggang. Karena jarak, aku di Yk dan dia di Kaltim. Sama-sama rindu.
Sore itu, aku dateng ke rumah Rensita. Sekalian minta makan.
"Hai..." Sapaku.
"Eh, kamu. Kangen ya sama aku?" Jawabnya yang penuh rasa pede.
"Iya. Mamah kamu, masak?"
"....."
Sambil melahap dengan cepat makanan dari Rensi, kami ngobrol. Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya Rensi berkata..
"Kayaknya kita uda ga cocok". Ucapan Rensi ini sempat membuat beberapa nasi yang ada di mulutku, melompat ke muka Rensi. Saking kagetnya.
"Maksud kamu?"
"Percuma, yang berusaha mempertahankan hubungan ini cuma satu pihak. Cuma aku. Bukan kita"
"Tapi..."
"Aku harus memilih jalan yang terbaik. Maaf, kita putus"
"Hmm.."
"Kok hmm?"
"Sebenernya yang membuat kita seperti ini ya kita berdua. Aku sibuk, kamu sibuk. Kita berjarak. Jalan yang terbaik harusnya bertemu. Bukan berpisah."
Rensi terdiam. Aku pergi meninggalkan dia dan meninggalkan makanan yang belum sempat aku habiskan. Aku memang sengaja ga meminta dia untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Karena dari kalimat yang dia ucapkan, bisa diambil kesimpulan kalau sebenarnya, ga ada lagi tempat buat aku di hatinya.
Sore berganti malam. Biru dan jingga mulai habis ditelan gelap. Pelan-pelan.
Pukul 7 malam. Entah kenapa, malam itu, suasana kamarku terasa lebih sunyi dari malam-malam sebelumnya. Membuat seluruh sel-sel dalam otakku serempak meneriakan nama Rensi. Di satu sisi, aku benci dengan dia. Di sisi yang lain, ada harapan dalam hatiku, semoga malam ini dia nelpon aku. Dan meminta aku untuk memulai semua dari awal.
Waktu hampir menunjukkan pukul 10 malam. Harapanku terancam pupus. Rensi ga nelpon. Hp-ku sepi. Aku menghembuskan napas panjang. Mencoba menenangkan diri, sambil berkata dalam hati "Yaudah lah.."
Setelah beberapa menit melamun, hp-ku bunyi. Nada dering telpon masuk. Aku dengan cepat menyergap hp-ku yang tergeletak di kasur. Dengan penuh harapan bahwa itu telpon dari Rensi.
"Hallo?"
"Ya hallo. Sondang mana Sondang?"
"Innalilahi wainailaihirojiun.."
"Hah?"
THE END.
Beberapa fiktif.
Cheers,
-GJG-