Wuaawwww! Apakah kalian sedikit terkejut ngebaca judul artikel yg ini? Atau biasa saja? Atau malah kagak ngarti nama siapa itu? (makanye dibaca ini biar paham) hhh... Memang sejak awal tahun ini aku memulai langkah-langkah baru yang niscaya bisa meluluhkan hati anda-anda sekalian untuk selalu berkembang setiap tahunnya, setiap bulannya, dan terutama setiap akhir pekan nanti (dibaca: wiken) (tulisannya: weekend).
Tulisan ke 50 ini, aku memang ngetik Howard Schultz (susah ya namanya) sebagai judul artikel. Nama ini bukan sekaliber A. Einstein, W. Isaacson, atau bahkan S. Jobs. Jadi tolong perkenalkan, Howard Schultz ialah pengusaha dunia yang ga ada dikoleksian buku biografi atau dikumpulan film-film kalian. Makanya ini aku bahas, ga macem-macem deh biar kalian ngelihat semangatnya, udah gitu aja.
Jadi gini...
Setelah sekian lama berkutat dengan hal yang berbau dengan bukaan tambang. Akhirnya semalem aku bisa ngelepas penat, nah pas ngopi aku duduk di depan screen yang mutarin documenter shortfilm tentang pemilik warung kopi ini. Kami bertiga hening nonton shortfilm yang ga pernah diputar dilayar kaca kami. Udah deh ya tanpa ba bi bu ini review versi ingetanku.
===============================================
Dalam shortfilm otobiografinya: "Bagaimana Starbucks membangun sebuah perusahaan secangkir demi secangkir," Howard Schultz menceritakan gimana dia merintis dan menjadikan Starbucks sebagai kedai kopi dengan jaringan terbesar di seluruh dunia. Awalnya idenya ditolak dan dilecehkan bahkan dianggap gila oleh ratusan orang. Tapi ini ga membuat dia nyerah gitu aja, malahan makin bergairah.
Itulah kisah nyata yang dialami oleh Howard Schultz, orang yg dianggap paling berjasa dalam membesarkan kedai kopi Starbucks.
"Secangkir kopi satu setengah dolar? Gila! Siapa yang mau? Ya ampun, apakah kamu kira ini akan berhasil? Orang-orang Amerika ga akan pernah mengeluarkan satu setengah dolar untuk kopi."
Itulah sedikit dari sekian banyak ejekan yang diterima Schultz, sewaktu punya ide untuk ngubah konsep penjualan Starbucks.
Awalnya, Schultz adalah seorang GM di sebuah perusahaan bernama Hammarplast. Suatu kali, dia dateng ke Starbucks yang pada awalnya hanyalah toko kecil pengecer biji-biji kopi yang sudah disangrai. Toko ini dimiliki oleh duo Jerry Baldwin dan Gordon Bowke (kalao ga lupa namanya sih itu) sebagai pendiri awal Starbucks. Mereka memang dikenal sangat tertarik mempelajari tentang kopi yang berkualitas. Melihat kegairahan mereka tentang kopi, Schutz pun memutuskan untuk bergabung dengan Starbucks, yang kala itu baru berusia 10 tahun. Schultz senantiasa berusaha beradaptasi dan mencoba mengenalkan berbagai ide untuk membesarkan Starbucks.
Suatu saat, Schultz datang dengan ide cemerlang. Dia mengusulkan untuk mengubah Starbucks menjadi bar expresso dengan gaya Italia. Setelah perdebatan yang panjang, keduanya menemui jalan buntu. Baldwin menolak karena meskipun idenya bagus, Starbucks sedang terjerumus dalam utang sehingga ga akan mampu membiayai perubahan. Schultz pun lantas bertekad mendirikan perusahaan sendiri. Belajar dari Starbucks, dia ga mau berutang dan memilih berjuang mencari investor. Dan, pilihan inilah yang kemudian membuatnya harus bekerja ekstra keras. Ditolak dan direndahkan jadi bagian keseharian yang kudu dihadapinya.
Dengan uang yang terkumpul dari usahanya, akhirnya dia berhasil membeli Starbucks dari pendirinya. Namun, kerja keras itu ga berhenti dengan terbelinya Starbucks. Waktu terjadi akuisisi, dia mendapati banyak karyawan yang curiga dan memandang sinis perubahan yang dibawanya. Tetapi, dengan sistem kekeluargaan, dia merangkul karyawan dan bahkan memberikan opsi saham sehingga sense of belonging karyawan menjadi meningkat (cara cerdas kan ya).
Dibantu dengan beberapa orang kunci di perusahaannya, kini Schultz udah berhasil ngembangin Starbucks hingga puluhan ribu cabang di seluruh dunia. Dia juga menekankan layanan dengan keramahan pada konsumen, dan di sisi lain, memperlakukan karyawan sebagai keluarga. Dengan cara itu, Schultz terus berekspansi hingga terus menjadi kedai kopi terbesar.
Cheers,
-GJG-
Suatu saat, Schultz datang dengan ide cemerlang. Dia mengusulkan untuk mengubah Starbucks menjadi bar expresso dengan gaya Italia. Setelah perdebatan yang panjang, keduanya menemui jalan buntu. Baldwin menolak karena meskipun idenya bagus, Starbucks sedang terjerumus dalam utang sehingga ga akan mampu membiayai perubahan. Schultz pun lantas bertekad mendirikan perusahaan sendiri. Belajar dari Starbucks, dia ga mau berutang dan memilih berjuang mencari investor. Dan, pilihan inilah yang kemudian membuatnya harus bekerja ekstra keras. Ditolak dan direndahkan jadi bagian keseharian yang kudu dihadapinya.
Dengan uang yang terkumpul dari usahanya, akhirnya dia berhasil membeli Starbucks dari pendirinya. Namun, kerja keras itu ga berhenti dengan terbelinya Starbucks. Waktu terjadi akuisisi, dia mendapati banyak karyawan yang curiga dan memandang sinis perubahan yang dibawanya. Tetapi, dengan sistem kekeluargaan, dia merangkul karyawan dan bahkan memberikan opsi saham sehingga sense of belonging karyawan menjadi meningkat (cara cerdas kan ya).
Dibantu dengan beberapa orang kunci di perusahaannya, kini Schultz udah berhasil ngembangin Starbucks hingga puluhan ribu cabang di seluruh dunia. Dia juga menekankan layanan dengan keramahan pada konsumen, dan di sisi lain, memperlakukan karyawan sebagai keluarga. Dengan cara itu, Schultz terus berekspansi hingga terus menjadi kedai kopi terbesar.
Jadi yang aku seneng dari Schultz adalah dia gambaran kegigihan seseorang dalam membayar harga sebuah pencapaian untuk mewujudkan ide yang diyakininya. Seperti yang kawan saya bilang: "Ada harga yang pantas buat sebuah pengorbanan. - Matte Suck."
Cheers,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar