Sebelum saya
berpanjang-panjang menulis posting tak penting ini, saya nyatakan dulu satu hal
yang pasti:
- saya seperti
kawan-kawan kebanyakan, tak sepakat dengan fenomena razia, pemukulan,
penggundulan dan bentuk pelecehan lainnya yang dilakukan oleh polisi syariah di
Aceh pada Desember 2011 silam. Tak ada manusia yang layak diperlakukan demikian hanya karena stigma yang
datang dari penampakan dan perilaku yang tidak sesuai (konon) dengan adat/norma
setempat. -
Tapi ada beberapa
catatan yang baiknya saya mulai dengan yang pertama; kasus ini tidak sesederhana yang media gembar-gemborkan. Ada kompleksitas tersendiri dimana sulit dipahami
oleh awam yang tidak sempat berada di dalam scene
punk dimanapun. Tidak juga oleh Propagandi atau Rancid yang memberikan
pernyataan mereka (gambar bawah). Indikator sederhananya sebut saja satu; Tidak
adanya aksi solidaritas di tataran Aceh juga menimbulkan pertanyaan. Banyak
faktor memang, kondisi yang tak memungkinkan misalnya. Namun dari perbincangan
dengan beberapa kawan, nampaknya faktor keterasingan komunikasi dan
ketidakkesepakatan atas aksi-aksi kultural komunitaslah yang menjadi penyebab.
Saya yakin, terdapat
banyak kawan-kawan Punk di Aceh sana sejak rejim Soeharto berakhir, bahkan saya
yakin scene di Aceh sudah mulai ada
dan luar biasa aktif di penghujung 90-an dan awal 2000-an. Tidak hanya karena
keadaan tidak mengijinkan lalu mereka tidak melakukan sesuatu, apalagi hanya
sekedar aksi solidaritas. Jika dahulu tidak pernah ada masalah dengan
masyarakat lalu mengapa tidak juga sekarang? Oke, faktor polisi syariah, tapi
saya yakin bukan hanya itu. Pasti ada sesuatu. Paling tidak saya bisa berkaca pada keadaan di kota kami sendiri dan dimana
‘Punk’ bukan lagi sesuatu yang harus saya bela sebagai identitas, namun lebih
sebagai semangat.
Saya tidak
mengidentikkan lagi ‘punk’ sebagai identitas, sejak penampakan itu dipakai
dengan sesuatu yang tidak saya sepakati, mulai dari mohawk yang menjadi trend
fashion yang ngga banget
(band-nya Ahmad Dhani misalnya) hingga wujud ‘punk’ yang berkeliaran disudut
kota sebagai pengamen (sejak kapan punk meminta belas kasihan?) dan memalak
orang, apatis terhadap pergulatan komunitas sekitarnya, termasuk menjadi fasis
geng yang sungguh sama sekali tidak ‘punk’.
Inilah jawaban dari share blog saya yang perdana yaitu Straight Edge (silahkan klik link).
Jawaban yang sesungguhnya mengapa saya (GJG/join.red) memaknai,
menjalankan, dan berkomitmen terhadap paham straight
edge sejak 2007 hingga saat menulis ini yaitu mampu berhenti dari rokok,
jauh dari alkohol, dan agak netral dari beer.
Saya tidak memungkiri di umur saya yang belia ini, semenjak 2002 saya sudah
merasakan hal-hal tersebut di pulau kecil yang menyerupai bentuk koma pada
kenampakannya di Peta Indonesia. Hasil dari proses selama menjalani paham
tersebut adalah cercaan, ocehan, diakhiri dengan sanjungan bertubi-tubi dari
orang terdekat yang merasa bla…bla…
Saya meninggalkan
identitas punk, tetapi rutinitas pagi di playlist
selalu berisikan distorsi-distorsi dari karya Rancid, dll. Hal ini supaya
semangat punk selalu hadir untuk mengawali dan mengarungi aktifitas harian
saya.
Oke untuk mencegah
OOT/out of topic (bahasa yang sering
digunakan kawan saya, sebut saja dia Matty), maka saya akhiri backflute ini untuk lanjut mengenai
topik.
Catatan lainnya cukup
mengagetkan sebenarnya, mengingat ini terjadi pada komunitas yang mengidentifikasikan
diri dengan kata dan makna ‘PUNK’. Catatan yang agaknya perlu sama-sama kita
renungkan mengingat menjadi ‘punk’
adalah sebuah pilihan yang bukan tanpa resiko apapun makna yang kalian
tempelkan disitu. Dimana pilihan itu sudah seharusnya datang dengan
konsekuensi yang sudah diperkirakan, dimana (layaknya sebuah pilihan) harus
dipertahankan oleh mereka-mereka yang yakin dengan pilihannya. Sehingga menjadi
cengeng saat konsekuensi itu datang sangatlah aneh.
Lepas dari beberapa
catatan usai mengumpulkan info tentang Aceh perihal fenomena ini, ada sesuatu
yang agak absurd. Lagi-lagi dengan
catatan; ini terjadi dengan mereka yang mengaku ‘punk’, bukan sebuah
ke-profesian khusus lain (misalnya tukang baso) yang tidak ada makna-makna
pembangkangan khusus melekat didirinya.
- Bakso disini bukan juga
Bakso Idola yang anda (Matty dan Geppy.red) perdebatkan dengan saya barusan saat
anda membuyarkan konsentrasi ketika saya menulis ini. No problem, at least kehadiran anda sedikit membuka wacana, antara
lain: Era Soe(karno/harto), Dhani, Ibas yang sok menjaga trah Sarwo Edi, Monas
yang di bersihkan untuk menyambut orang siap gantung (baca: Anas), Nazar, Presidenmu
yang berpolitik riot dengan mengalihkan
isu Lapindo, Golkar yang mana PNS era dulu wajib memilih Golkar (gimana Cendana
Family ga 32 tahun), Bu Mega yang lebih baik minang cucu, hingga saya nge-growl demi kemajuan TA kalian. So, enjoy your dissertation buddy!
Pertama; saya tak
melihat adanya perlawanan signifikan dari mereka yang di-razia plus plus itu
kemarin. Pada sebuah potret mereka digunduli, dimasukan ke kolam dengan nerimo.
Cukup aneh sebagai penerimaan atas nasib, bukankah kawan-kawan sudah seharusnya
melawan jika memang itu semua adalah pilihan hidup yang kalian pilih, bukankah
kawan-kawan sepakat bahwa hidup kalian adalah milik kalian yang tak ada
seorangpun bisa mendiktenya kecuali tentunya kawan menjadi punk hanya pilihan
dilematis dari sedikitnya pilihan menjadi diri sendiri. Mungkin saya salah,
mungkin kawan-kawan disana melawan seadanya, namun saya melihat kawan-kawan
masih sehat walafiat, masih bisa berdiri dan, ajaibnya, rela masuk kamp
rehabilitasi. Jika konon menjadi diri sendiri itu
sama pentingnya dengan mempertahankan isi perut, mengapa untuk sekedar
kebebasan berekspresi yang melekat pada tubuh kawan-kawan disana tidak bisa
mencontoh mereka yang berjuang hidup mati untuk isi perut mereka. Dari Kebumen hingga Mesuji bertebaran
tauladan bagaimana mempertahankan sesuatu yang berarti penting bagi hidup kita.
Kecuali memang arti itu tak sepenting yang kita perkirakan.
Catatan terakhir;
soal respon ‘punk’ yang sungguh pula aneh untuk ukuran scene yang besar dengan tradisi melawan otoritas. Melakukan aksi
solidaritas itu penting. Berguna untuk menunjukkan eksistensi dan simpati
lintas komunitas dan mengirim sinyal kepada mereka yang ditahan bahwa mereka
tidak sendirian. Namun melakukan aksi yang mirip aksi-aksi usang ala
mahasiswa, dengan mendatangi kantor kepolisian atau
simbol-simbol kekuasaan, lengkap dengan statement seolah mereka adalah institusi yang layak diakui adalah
sesuatu yang absurd. Jika letak
pentingnya aksi solidaritas hanya untuk mengakui betapa pentingnya mereka
sehingga harus kita datangi sekalipun untuk kita protes, maka sama
artinya kita mengakui bahwa eksistensi kita berada ditangan mereka dan kita
memelas meminta mereka untuk tidak berlaku tidak adil pada kita.
Secara tidak langsung menunjukkan pada khalayak seolah perubahan akan terjadi
jika kita memintanya pada otoritas. Sesuatu yang sama-sama kita sepakati sejak
lama; tak akan pernah terjadi.
Bukankah selalu ada
alternatif lain selain mendatangi otoritas dan meminta mereka berhenti melakukan
pelanggaran? dan siapa pula target (aksi) komunikasi kita? apakah otoritas?
atau masyarakat lain yang sebenarnya lebih layak kita ajak dialog perihal
eksistensi kita (jika memang inti aksi ini melempar wacana soal perbedaan).
Sesuatu yang paling
menggelikan adalah aksi seminggu kemarin yang terjadi di Yogyakarta (YK),
dimana sekelompok ‘anak punk’ (ow
em ci!!!, i hate that fukkin term!!!) mendatangi Polresta dengan statement-statement yang oxymoron.
Mulai dari penamaan elemen aksi mereka; Masyarakat Punk YK (oh dewa marmot, ampuni kami!!)
hingga pernyataan kepada kepolisian seolah punk memelas untuk dimengerti; “Kami
hanya pakaian dan rambut yang dinilai urakan. Hati dan perilaku tetap santun
dan soleh.” cmon dude, do you really
have to say that to fukkin cops???
Meminta masyarakat YK
tidak terlalu apriori terhadap komunitas ‘punk’ pun sama oxymoron-nya. Karena
penerimaan tidak terletak pada kata-kata, namun pada pembuktian dari hari ke
hari dimana komunitas terlibat dalam pergulatan masyarakat dalam membangun
pilar-pilar kehidupan bersama. Berkoar-koar berteriak didepan masyarakat
tentang bagaimana hebatnya punk, tidak membuat kalian menjadi punk dan kemudian
diterima diluar sana.
Buatlah
band, buat gigs, rilis rekaman kalian, buatlah zine dan media kalian sendiri,
berjejaringlah, jaga teman kiri-kanan dan keluarga kalian, bangun kemandirian
komunal, organisirlah komunitas kalian, bergabunglah dengan mereka yang tidak
beruntung di hidup ini, lawan otoritas yang menindas tanpa pandang bulu,
bersenang-senanglah dengan passion kalian. Meski diluar sana kenyataan tak sesederhana itu,
tapi paling tidak; at least those are things that make
you punks. Berhentilah
mengemis legalitas dan penerimaan. Respect is not a gift, its something
you earn.
Terakhir, mengutip
orasi sang orator lapangan; “Silakan bapak polisi geledah tas anak Punk. Tak
sedikit dari mereka isinya sajadah dan kopiah untuk alat sholat. Kami masih
berfikiran sehat, pak polisi,” tegasnya. Wait
the fuck up…!!! jadi dengan kata lain mereka yang tak memiliki alat
sholat itu tidak berfikiran sehat dan layak diperlakukan tidak adil? Lagipula
-tanpa mengesampingkan fakta banyak kawan-kawan yang relijius, bukankah
simbol-simbol ‘kepribadian berakhlak’ ala maisntream adalah sesuatu yang kita
lawan? Bukankah inti menjadi punk itu mengingatkan kita untuk meyakini pilihan
kita sendiri? apapun itu, relijius atau tidak, stand up for what you believe in!
Apapun yang
kawan-kawan yakini, jalani keyakinan kalian dengan kepala tegak. Tak ada aturan
bahwa menjadi punk harus menjadi atheis, jadi jalani lorong spiritualitas
kalian, peduli setan apapun yang orang katakan (seperti lagunya alterego “Whatever
You Say”). Begitu pula sebaliknya, jika kalian yakin bahwa menjalani hidup
tanpa keimanan bisa menjadikan kalian nyaman dengan apa yang kalian hadapi,
mengapa pula harus mendengar petuah yang kalian sendiri tak yakini, termasuk
masuk ke camp rehabilitasi. Diluar
sana, gonjang-ganjing ini mengerucut pada debat tak berujung berkepanjangan sampai
minggu lalu dan stigmatisasi baik pada ‘Punk’ maupun ‘Islam’ (yang
direpresentasikan polisi syariah). Jangan terperangkap di wilayah itu, menjadi
punk bukan kriminal, dan tidak pula menjadi seorang muslim yang di
beberapa pojokan diluar sana diperlakukan mirip kasus di Aceh. (Beberapa situs
diskriminatif anti-toleransi mempergunakan isu Punk Aceh ini untuk mendiskreditkan
Islam). Selama menjadi minoritas, akan selalu ada waktu dimana kalian melewati
hari-hari cadas. Yang pasti sekali lagi; menjadi cengeng sama sekali tidak punk
dalam menerima konsekuensi. Fight for it.
Yes, that’s me wrote all that crap. Mengemis penerimaan pada otoritas bukanlah
sesuatu yang menyebabkan punk eksis di muka bumi. Now i sound too politicaly-correct, But fuck it, Lets make punk a threat again. Up the punx!
- Maaf kepada pembaca. Jujur saya
nasrani, tulisan ini bentuk opini saya terkait ‘punk’ bukan khotbah ke seluruh umat yang menyudutkan
Islam. Thx for attention.
- Saya besar bersama semangat ‘Punk’ yang saya ketahui. Sedikit banyaknya berjasa membentuk dan membuat saya sampai di hari ini. Satu-satunya kontribusi balik saya bagi Punk adalah berbagi nilai-nilai yang saya pahami dan sepakati dengan beberapa lainnya. Senihil apapun makna itu hari ini. Saya kadung yakin bahwa punk bukan sekedar pilihan selera musik. Saya lebih menekankan pada tulisan kemarin adalah soal prinsip non-kooperasi dengan polisi syariah. Bukan hal Islam-nya. Saya tak punya hak mengganggu gugat bagaimana seharusnya mereka memainkan musik, harus bersuara seperti apa musik mereka, atau harus terlihat seperti apa mereka. Thats pointless, kebebasan berekspresi
sudah seharusnya mutlak milik mereka, ini bukan era Soe(karno/harto) lagi yang
seperti barusan diingatkan oleh Matty dan Geppy.
Cheers,
-GJG-
Referensi: gutterspid-herrysutresna-bangucok dan media online aceh.
Sumber gambar: Hai-online magazine dan media online aceh.