Akhir-akhir ini televisi anda selalu basi dengan siaran-siaran Au, yang merupakan inisial tersangka, sekaligus unsur kimia dari Emas Monas Anas! Yes of course, Anas Urbaningrum. Silahkan saudara-saudara lanjutkan sendiri membahas si munafuck yang satu itu. Kali ini saya akan mengupas kesimpangsiuran terkait apakah itu bencana alam atau human error yang membentuk suatu "danau lumpur" di Porong, Sidoarjo.
Once again DANAU LUMPUR, yaa sengaja saya membuat istilah sendiri. Isu tentang Lumpur Sidoarjo ataupun Lumpur Lapindo sudah menjadi bahan perbincangan dimanapun dari keilmuan sampai ke ranah politik dengan nada dan sentimen yang sama sebelum saya menulisnya di blog ini. Ouh shit, will I be mainstream? Tidak kawan! saya berani tegaskan spesifiknya, bahasan saya mengenai peran media massa yang mengakomodir pemberitaan danau lumpur menjadi suatu "pembenaran bukan kebenaran (kalimat maut pembimbing saya ini, saya cuplik dulu ya Pak Doktor)".
Isu ini berangsur menjadi menjijikan seperti
gosip tabloid. Isu krusial tentang otoritas dilibas oleh isu-isu sampingan yang
malah sama sekali tidak penting. Ketika sebuah gagasan tak lagi bisa
memprovokasi diskusi sudah saatnya disudahi. Time to put action where your
mouth is and practice what you preach.
Favete linguis: Favour me with the commotion your news on television.
----------------------------------------
Pertarungan Pengetahuan
Pengetahuan kita mengenai sesuatu objek memiliki jenjang atau tingkatan.
Know What (apa), know How (bagaimana), dan know Why (mengapa). Pengetahuan kita
tentang sesuatu objek akhirnya membentuk pemahaman terhadap objek tersebut.
Pemahaman ini akan berpengaruh pada sikap kita terhadap objek tersebut.
Bakrie Grup, sebuah perusahaan yang sejak awal dikaitkan dengan kasus
ini juga memiliki media massa. Dari prespektif pengetahuan, media massa adalah
salah satu infrastruktur pengetahuan yang bisa mempengaruhi pemahaman kita
terhadap sebuah objek atau kasus. Kepemilikan media massa oleh Bakrie Grup ini
sedikit banyak mempengaruhi pertarungan pengetahuan dalam kasus lapindo.
Di sisi lain, warga masyarakat pun tidak tinggal diam. Kepemilikan
infrastruktur pengetahuan dari Bakrie Grup, dilawan dengan mendirikan radio
komunitas, buletin dan portal. Tujuannya sederhana memberikan pemahaman
terhadap kasus ini di luar pemahaman yang diberikan media mainstream, termasuk
media massa Bakrie Grup. Dari sinilah pertarungan pengetahuan dimulai.
Inkonsistensi Media
Pemberitaan media terkait semburan Lumpur Lapindo memang sangat beragam.
Tetapi kebanyakan berita yang ditampilkan lebih menguntungkan pihak Bakrie.
Salah satunya dengan penyebutan Lumpur Lapindo yang telah diarahkan menjadi
Lumpur Sidoarjo (inilah yang menjadi alasan saya menyebutnya dengan Danau Lumpur).
Penelitian
Yayan Sakti Suryandaru, pengamat media massa Universitas Airlangga, Surabaya,
pada periode Januari-Desember 2008, memperlihatkan bahwa media tidak
konsisten dalam menyebut Lumpur Lapindo. Sebagian besar media cetak lokal
dan nasional lebih memilih menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo dibanding Lumpur
Lapindo. Diantaranya harian Media Indonesia dan Surabaya Post, yang menggunakan
istilah Lumpur Sidoarjo. Sedangkan media lokal seperti Surya dan Jawa Pos
terkadang menggunakan istilah Lumpur Lapindo, tetapi tak jarang juga menyebut
Lumpur Sidoarjo. Hanya harian Kompas yang masih menggunakan istilah Lumpur
Lapindo.
Tapi di tahun 2011, penyebutan istilah Lumpur Lapindo dan Lumpur
Sidoarjo di media mulai berubah. Harian Kompas yang di tahun 2008 tetap
menggunakan istilah Lumpur Lapindo, ternyata mulai Januari 2009 mengubahnya
menjadi Lumpur Sidoarjo. Saat ini KOMPAS kembali menggunakan istilah Lumpur
Lapindo.
Harian Media Indonesia dan Metro TV justru sebaliknya. Setelah kekalahan
Surya Paloh dalam pencalonan sebagai Ketua Umum Golkar di tahun 2009,
penyebutan Lumpur Lapindo kembali digunakan.
Sedangkan
media-media milik Bakrie, seperti TV One, ANTV, Vivanews dan Surabaya Post
tetap menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo. Ini diikuti oleh Suara Surabaya,
Inilah.com, Suara Merdeka, Jurnal Nasional, dan BBC Indonesia. Untuk Detik.com
dan Suara Merdeka, keduanya kadang menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo, tetapi
kadang juga menggunakan Lumpur Lapindo. Sementara media yang masih menggunakan istilah Lumpur Lapindo adalah
Antara, Tempo, Okezone, Pos Kota, dan JPNN.
Bagaimana Media Bakrie Grup Memberitakan Kasus Lapindo?
Bakrie Grup selain memiliki usaha tambang, juga memiliki berbagai media.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Bakrie Grup
mencoba mensinergikan group medianya di VIVA Group (AnTV, TVOne dan
Vivanews.com) dengan grup telekomunikasinya.
Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) Anindya Novyan Bakrie
memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology (BakrieTMT2015) akan
menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA Group) dan
teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015 di Jakarta, Kamis (31/3).
Untuk sinergi tersebut BTEL akan menanam investasi senilai Rp 5 triliun (klik sumber).
Terkait dengan kasus Lapindo, pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana
media Bakrie Grup memberitakan kasus Lapindo?
Akhir Mei 2011 lalu, AnTV menanyangkan program televisi yang berisikan
tentang nasib korban semburan lumpur Lapindo. Selama hampir satu minggu, TV
milik Bakrie ini memenuhi televisinya dengan program-program semacam itu.
Sementara itu TV One, TV milik Bakrie Grup yang lain, telah beberapa minggu
sebelumnya menayangkan program pengajian di TVnya “Damai Indonesiaku” dengan
mengambil lokasi di Porong, Sidoarjo.
Pesan yang disampaikan sama. Persoalan semburan Lumpur Lapindo telah
selesai, masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo telah hidup sejahtera dengan ganti rugi yang diterimanya, Bakrie adalah orang yang baik, yang
meskipun telah ditetapkan tidak bersalah oleh pengadilan, tetapi masih membantu
korban semburan lumpur, tidak ada kerusakan lingkungan, dan penyebab semburan
lumpur adlah gempa Jogja.
Tak ada gambaran sedikitpun tentang derita warga yang rumahnya
ditenggelamkan lumpur, orang-orang yang masih tinggal di pengungsian tol
Besuki, anak-anak yang tidak bisa sekolah, warga yang menderita sakit karena
menghirup gas beracun, ekonomi warga korban yang kocar-kacir, rusaknya
infrastruktur dan sarana publik, hingga hancurnya lingkungan di kawasan Porong.
Sementara itu, pada saat yang sama, 29 Mei 2011, ratusan warga dari
seluruh desa di Porong, Sidoarjo, yang wilayahnya terkena dampak semburan Lumpur Lapindo, berunjukrasa dengan berjalan kaki di sepanjang Jalan Raya
Porong. Aksi dilanjutkan dengan menggelar istigosah atau doa bersama di pinggir
tanggul kolam penampungan lumpur di Desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo. Tuntutan
warga masih tetap sama, meminta pemerintah tegas dalam melindungi hak-hak
warganya yang telah ditenggelamkan Lumpur Lapindo.
Aksi
tersebut ramai diberitakan oleh media, baik di tingkat nasional maupun media
lokal di Jawa Timur. Karena saat itu adalah lima tahun Lapindo telah menenggelamkan
kota Porong. Namun aksi ini tak diberitakan secara proporsional oleh
media-media milik Bakrie, macam TVOne, ANTV dan VivaNews.
Kejadian seperti itu bukan kali itu saja terjadi. Pada peringatan
semburan Lumpur Lapindo di tahun sebelumnya, ANTV menayangkan sinetron yang
isinya tentang nasib korban lumpur Lapindo yang digambarkan telah keluar dari
penderitaan. Bahkan di dalam sinetron tersebut diceritakan sosok Bakrie yang
pemurah, meski telah dinyatakan tidak bersalah sebagai penyebab semburan
lumpur, tetapi tetap mau mengganti lahan masyarakat yang terendam lumpur.
TV One menyebut semburan lumpur sebagai Lumpur Sidoarjo bukan lumpur
Lapindo. Bahkan TV itu secara khusus mewawancarai pakar geologi Rusia Dr.
Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan
akibat kesalahan pengeboran (klik sumber). Sementara pendapat pakar yang menyatakan bahwa
semburan lumpur akibat pengeboran tidak diwawancarai.
Menurut saya, penyebutan semburan lumpur dengan lumpur
Sidoarjo mengarahkan opini publik bahwa semburan itu adalah bencana alam bukan
akibat pengeboran.
Hal yang sama juga terjadi di ANTV. Televisi milik Bakrie Grup itu juga
menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo. ANTV
juga menayangkan pendapat Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur
adalah akibat gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran (klik sumber). Seperti halnya TV One, pakar yang menyatakan bahwa semburan lumpur
akibat pengeboran tidak dimintai pendapat.
Hal yang sama juga terjadi pada vivanews.com. Portal berita milik Bakrie
Grup itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo, bukan lumpur
Lapindo. Di saat yang hampir bersamaan pula portal berita itu menampilkan
pendapat pakar geologi Rusia yang menyatakan semburan lumpur bukan akibat
pengeboran (klik sumber). Liputan khusus terhadap pakar Rusia juga ditampilkan secara
audio-visual di portal vivanews.com (klik sumber).
Pengalihan istilah dari “Lumpur Lapindo” menjadi “Lumpur Sidoarjo” ini
sengaja dilakukan, terutama oleh media-media milik Bakrie, dengan tujuan untuk
pencitraan dan mengaburkan persoalan yang selama ini terjadi. Penghilangan
istilah “Lumpur Lapindo” sejatinya telah menghilangkan nama perusahaan Lapindo
Brantas dari pusaran kasus ini. Dengan makin seringnya istilah “Lumpur
Sidorajo” digunakan, maka masyarakat akan digiring bahwa semburan lumpur ini
bukan disebabkan oleh kesalahan pihak Lapindo Brantas dalam pengeboran gas di
Sumur Banja Panji 1 ini.
Padahal, kasus Lapindo tidak sekedar persoalan semburan lumpurnya saja.
Tetapi ada persoalan tak adanya akses informasi untuk warga terhadap bahaya
lumpur, perijinan tambang migas di kawasan padat huni, serta pengelolaan migas
secara umum.
Informasi Kasus Lapindo Yang Tidak Periodik
Meskipun kejadian semburan Lumpur Lapindo telah 7 tahun lamanya,
intensitas pemberitaannya dari waktu ke waktu justru semakin menurun. Kasus
Lapindo hanya dimuat pada waktu-waktu tertentu saja, seperti peringatan 6 tahun
semburan Lumpur Lapindo. Ketika warga melakukan demo besar-besaran menuntut
ganti rugi yang sering tersendat. Atau ketika ada warga yang sakit parah karena
bermunculannya gelembung-gelembung gas beracun di lingkungannya.
Padahal, masalah Lapindo tidak berhenti disitu saja. Banyak hal yang telah dihancurkan akibat semburan Lumpur
Lapindo. Ketika informasi yang disampaikan kepada publik terputus-putus, maka
masyarakat tak bisa memahami kasus lapindo secara menyeluruh.
Belum
lagi kedalaman informasi yang disampaikan. Seringkali informasi yang
disampaikan oleh media hanya informasi singkat kejadian. Kurangnya penggalian
informasi membuat informasi yang disajikan menjadi tidak mengena. Kaitan
kejadian satu
dengan yang lain seringkali tak dihubungkan, sehingga membuat berita yang
disajikan mentok disitu saja. Akhirnya, tak ada informasi baru menjadi alasan
bagi media untuk tak memberitakan kasus lapindo.
Gagal Membangun Sikap Kritis
Pemberitaan media dalam memberitakan kasus semburan lumpur Lapindo tak
mampu membangun sikap kritis masyarakat. Ini terlihat dari sudut pandang
pemberitaan yang seragam. Hampir semua media massa mengambil sudut pandang soal
ganti rugi. Secara sadar atau tidak, sikap ini turut mengukuhkan wacana yang
dibuat oleh pihak Lapindo, yang menggeser permasalahan semburan Lumpur Lapindo
menjadi hanya sekedar persoalan jual beli aset.
Padahal, persoalan semburan lumpur Lapindo bukan sekedar jual beli
aset. Masih banyak persoalan yang lain, seperti hilangnya tatanan sosial dan
sejarah warga, tercemarnya lingkungan, udara dan air tanah warga, hilangnya
kesempatan anak-anak untuk meneruskan sekolah, hancurnya tata produksi warga,
meningkatnya biaya kesehatan, hilangnya tali persaudaraan dan sebagainya.
Kondisi ini pernah dikritik oleh Ketua Pusat HAM Ubaya, Yoan Nursari
Simanjuntak. Media dianggap belum mampu menjalankan kode etik jurnalistik
secara tepat. Harusnya media melakukan liputan terhadap analisis risiko secara
menyeluruh. Sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi jurnalisme, dengan
memperbanyak tulisan tentnag lingkungan, korban, potensial korban dan dampak
semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh dan seimbang.
Fenomena ini tak dapat dipungkiri berkaita erat dengan membanjirnya
“iklan” Lapindo di media massa. Jika di bulan Agustus 2006 Lapindo memasang
iklan sehalaman penuh di beberapa media cetak nasional dan daerah, setelah itu,
Lapindo menggunakan tangan para pakar dan akademisi untuk menyampaikan misinya.
Dalam tesis Anton Novenanto, dijelaskan bahwa untuk kasus semburan
Lumpur Lapindo, Bakrie Grup (bukan Lapindo) menyediakan dana sebesar 1 milyar
rupiah untuk satu media. Dana itu digunakan hanya untuk pendekatan komersial
agar bisa masuk ke media massa. Lewat dana ini, yang dikemas dalam bentuk
belanja iklan, kekritisan media diuji.
Tak Cuma itu saja, Bakrie Grup juga memproduksi surat berita Solusi dan
mengelola situs www.mudvolcano.com untuk membanjiri informasi kepada masyarakat.
Voice of Voiceless
Pemberitaan media terhadap kasus semburan Lumpur Lapindo yang sedikit
sekali berpihak kepada masyarakat korban, memunculkan media-media alternatif
yang dikelola masyarakat korban lumpur Lapindo, untuk menyampaikan kepada
publik tentang kondisi di Porong yang sebenarnya.
Sebut saja portal korbanlapindo.info, radio Suara Porong, Radio Kanal
Besuki Timur (KBT), newsletter Kanal, blog dan komunitas video yang banyak
muncul di masyarakat sekitar semburan Lumpur Lapindo.
Media alternatif warga korban Lumpur Lapindo ini, selain untuk
mengabarkan apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat korban semburan Lumpur
Lapindo, juga untuk mengimbangi informasi-informasi yang disampaikan oleh media
mainstream sehingga masyarakat dapat menangkap kejadian secara utuh.
Bagi masyarakat korban sendiri, media-media ini dapat menjadi pencerahan
dan menyambungkan informasi kejadian yang terjadi di masyarakat korban itu
sendiri.
Tentu saja, media alternatif yang dibuat oleh masyarakat korban
semburan Lumpur Lapindo, bukan untuk menandingi
media-media besar, terutama media-media milik Bakrie Grup. Karena media
alternatif warga ini jangkauannya terbatas. Masyarakat korban hanya ingin
informasi yang muncul di publik seimbang dan menyuarakan suara masyarakat
korban, yang makin tak banyak disuarakan.
Kalian Percaya yang Mana?
Gencarnya pemberitaan terkait kasus Lapindo yang dilakukan oleh
media-media milik Bakrie Grup ternyata tak mempengaruhi persepsi masyarakat
luas.
Hasil survey online 5 tahun Lumpur Lapindo yang dilakukan Satu Dunia
pada bulan Mei 2011, dengan 72 responden yang mengisi kuisioner, semua
responden masih mengingat peristiwa semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang
terjadi pada 29 Mei 2006 lalu.
Penyebab semburan, yang oleh pihak Lapindo selalu digembar-gemborkan
karena bencana alam Gempa Jogja, baik di media cetak, maupun televisi, hingga
iklan-iklan yang ditebarkan grup Lapindo, ternyata tak mempengaruhi persepsi
publik. 99% responden menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur terkait dengan
kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.
Terkait
dengan pemberitaan di media massa, para responden menganggap Metro TV, Kompas,
Koran Tempo, Media Indonesia dan Detik.com yang paling baik mengulas kasus
semburan Lumpur Lapindo.
Diantara media televisi berikut, media mana yang paling baik
memberitakan persoalan Lumpur Lapindo?
Diantara media massa (koran) cetak berikut ini, media mana yang pemberitaannya paling baik terkait kasus Lapindo?
Diantara media online berikut, media mana yang paling baik mengulas
kasus Lumpur Lapindo?
Meski media-media milik Bakrie Grup terus menerus melakukan pencitraan
pada kasus semburan Lumpur Lapindo, dengan mengarahkan penyebab semburan karena
bencana alam, hingga menyampaikan kepada publik bahwa masyarakat korban
semburan Lumpur Lapindo telah sejahtera dengan ganti rugi yang diberikan oleh
Lapindo, tetapi publik yang diwakili oleh responden survey online Satu Dunia
menyatakan bahwa sebagian besar tidak percaya dan meragukan informasi tentang
kasus Lumpur Lapindo yang diberitakan oleh media massa Bakrie Grup.
Responden pun sebagian besar setuju bahwa kasus semburan Lumpur Lapindo
ini bukan sekedar kasus semburan lumpur, tetapi terkait dengan persoalan
perijinan tambang di kawasan padat huni dan liberalisasi sektor minyak dan gas
bumi di Indonesia.
Bagaimana anda melihat kasus semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo?
Dalam lomba Penulisan Artikel Lima Tahun Kasus Lapindo “KASUS LAPINDO
Yang Saya Tahu” yang diikuti oleh 47 peserta dari berbagai daerah, seperti
Palembang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Medan dan beberapa kawasan lain,
semua peserta menyampaikan bahwa semburan lumpur di Sidorajo bukanlah bencana
alam, tetapi terkait dengan aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas.
Dan ini seiring dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) pada saat Debat Calon Presiden Republik Indonesia
putaran pertama, 18 Juni 2009. SBY menyampaikan bahwa Lapindo sebagai penyebab
semburan lumpur.
Cheers,
-GJG-
Sumber: media online seperti di link.