Sabtu, 19 April 2014

PIKIRAN SORE


"Ga, sejak kapan ya real coffee itu Starbucks? Real coffee itu kopi hitam yang dijual di burjo seberang kosan cuma dua ribu perak segelas." Aku ngedumel sambil menuangkan saus sambal ke pad thai. Ngopi sore ini (12 April 2014) kami bertiga di sponsorin (baca: dibayarin) Yoga sebagai pengganti nginep di kosan selama di Yk.

Yoga tertawa. "Ngomong lu bau, Jo. Kayak lu ga doyan Starbucks aje."

"Bener Tol. Tapi gw tiap pagi tetap nyandu kopi burjo itu keleus. Dan menurut gw, really good coffee itu ya kopi begitu atau kopi luwak sekalian, yang hitam pekat dan bikin lidah lu gemetar saking pahitnya. Minum kopi itu yang pahit, kalo yang manis kan uda ada kenangan Cok. Hhh…" Celotehku.

Mbakku yang tadinya sibuk ngetik di MacBook-nya langsung meringis. "Eww, I'm not drinking anything that some monkey is shitting on."

"Tapi serius lho, Mbak, enak banget. It's like the Columbian cocaine of coffee. The Cuban cigar of coffee.” Aku tertawa sambil mantengin boardlist untuk ngelihat menunya.

“Ga usah capek jualan deh lu. Dikasih gratis juga gw ga mau.” tawanya Yoga sinis.

“Pernah baca The Undercover Economist-nya Tim Hartford ga?” tanyaku

Mereka menggeleng. Aku tersenyum serasa menang dan siap-siap ngejejelin dengan ulasan umum dari buku itu ke mereka berdua.

“Kalian penikmat kopi serta hot chocolate yang kapitalis ataupun urbanis harus baca deh. Di situ Hartford bilang, alasan utama kenapa coffee giants seperti AMT, Cosi, atau Starbucks bisa men-charge harga segitu mahal untuk segelas kopi itu bukan karena kualitas kopinya, Mbak. Memang sih gw akuin kopinya Starbucks itu enak.” Jelasku setengah.

“Yeee~ diem lu bacot, ngaku juga kan kalo enak.” Yoga nyahut.

“Ntar dulu Ga, dengerin gw. Tapi apa enaknya itu pantas dihargai 25-30 ribu perak segelas? Kalau kata si Hartford, yang bikin harga segitu itu lokasi. Dan branding. Mereka berhasil me-repackage kopi menjadi kultur yang hip, dengan penempatan lokasi yang tepat. Kalian tahu kenapa lokasi coffee bar itu selalu di mal atau daerah perkantoran? Karena disini, orang-orang pengen rileks seperti kita dan sebagian ada yang sibuk, jadi ga peduli masalah harga karena yang penting itu adalah fast-served coffee to feed our coffaine addiction. Lu pada tau ga margin-nya itu bisa sampai 150%? Dan kita tetap ga peduli dan tetap beli, kan? Beneran deh Mbak, cewek shopaholic dan cowok kayak Yonyet yang brandholic harus baca bukunya. Supaya lu ga kesetanan setiap lewat Dr. Martens atau Hurley Concept Store pas di Sency Ga.” Aku mengakhiri penjelasan tentang ulasan dari Hartford.

"Really, you’re the one who should be talking, Mr. I’m not wearing a shirt unless it’s Fred Perry?" Mbakku tersenyum seraya balas meledekku.

Yoga tertawa terbahak-bahak. “Mampus lu, kena bales sama mpok lu dewek.” dan mereka pun toss berdua. Kompak bener!

Aku merasakan getaran dari tottebag-ku saat ponselku bordering. “Bentar ya.”

“Eh Dek, kalo itu Ibu, bilang aja kita diluar hapeku tewas gegara lowbatt.” Ujar mbakku, sambil mengunyah mie-nya dengan semangat.

Sore yang riang, terlihat Ibu-ibu muda serius berdiskusi (ntah, mungkin tentang bisnis). Disudut kiri anaknya dibiarkan seru membaca. Aah itulah maksudnya, Ibu muda mendidik anaknya dengan memberi bacaan.

Beberapa waktu lalu di tempat yang sama, bersama kawan-kawan.


Cheers,
-GJG-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar