"Ga, sejak kapan ya real coffee itu Starbucks? Real coffee itu
kopi hitam yang dijual di burjo seberang kosan cuma dua ribu perak
segelas." Aku ngedumel sambil menuangkan saus sambal ke pad thai. Ngopi
sore ini (12 April 2014) kami bertiga di sponsorin (baca: dibayarin) Yoga
sebagai pengganti nginep di kosan selama di Yk.
Yoga tertawa. "Ngomong lu bau, Jo. Kayak
lu ga doyan Starbucks aje."
"Bener Tol. Tapi gw tiap pagi tetap nyandu
kopi burjo itu keleus. Dan menurut gw, really good coffee itu ya kopi
begitu atau kopi luwak sekalian, yang hitam pekat dan bikin lidah lu gemetar
saking pahitnya. Minum kopi itu yang pahit, kalo yang manis kan uda ada
kenangan Cok. Hhh…" Celotehku.
Mbakku yang tadinya sibuk ngetik di MacBook-nya
langsung meringis. "Eww, I'm not drinking anything that some monkey is
shitting on."
"Tapi serius lho, Mbak, enak banget. It's
like the Columbian cocaine of coffee. The Cuban cigar of coffee.” Aku tertawa sambil mantengin boardlist
untuk ngelihat menunya.
“Ga usah capek jualan
deh lu. Dikasih gratis juga gw ga mau.” tawanya Yoga sinis.
“Pernah baca The Undercover Economist-nya
Tim Hartford ga?” tanyaku
Mereka menggeleng. Aku tersenyum serasa menang
dan siap-siap ngejejelin dengan ulasan umum dari buku itu ke mereka berdua.
“Kalian penikmat kopi serta hot chocolate
yang kapitalis ataupun urbanis harus baca deh. Di situ Hartford bilang, alasan
utama kenapa coffee giants seperti
AMT, Cosi, atau Starbucks bisa men-charge
harga segitu mahal untuk segelas kopi itu bukan karena kualitas kopinya,
Mbak. Memang sih gw akuin kopinya Starbucks itu enak.” Jelasku setengah.
“Yeee~ diem lu bacot, ngaku juga kan kalo
enak.” Yoga nyahut.
“Ntar dulu Ga, dengerin gw. Tapi apa enaknya
itu pantas dihargai 25-30 ribu perak segelas? Kalau kata si Hartford, yang
bikin harga segitu itu lokasi. Dan branding.
Mereka berhasil me-repackage kopi
menjadi kultur yang hip, dengan
penempatan lokasi yang tepat. Kalian tahu kenapa lokasi coffee bar itu selalu di mal atau daerah perkantoran? Karena
disini, orang-orang pengen rileks seperti kita dan sebagian ada yang sibuk,
jadi ga peduli masalah harga karena yang penting itu adalah fast-served coffee to feed our coffaine
addiction. Lu pada tau ga margin-nya
itu bisa sampai 150%? Dan kita tetap ga peduli dan tetap beli, kan? Beneran deh
Mbak, cewek shopaholic dan cowok kayak
Yonyet yang brandholic harus baca
bukunya. Supaya lu ga kesetanan setiap lewat Dr. Martens atau Hurley Concept
Store pas di Sency Ga.” Aku mengakhiri penjelasan tentang ulasan dari Hartford.
"Really,
you’re the one who should be talking, Mr. I’m not wearing a shirt unless it’s
Fred Perry?" Mbakku tersenyum seraya balas meledekku.
Yoga tertawa terbahak-bahak. “Mampus lu, kena
bales sama mpok lu dewek.” dan mereka pun toss
berdua. Kompak bener!
Aku merasakan getaran dari tottebag-ku saat ponselku bordering. “Bentar ya.”
“Eh Dek, kalo itu Ibu, bilang aja kita diluar
hapeku tewas gegara lowbatt.” Ujar
mbakku, sambil mengunyah mie-nya dengan semangat.
Beberapa waktu lalu di tempat yang sama, bersama kawan-kawan. |
Cheers,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar