Tentang dua kawan yang pernah
bermusik bersama kala itu dengan dengan alunan punk.
Rocky dan Leo
adalah contoh kecil kenapa mereka harus memilih punk sebagai prinsip hidup mereka yang berlandaskan DIY (do it yourself). Mereka besar di masyarakat
yang mengkulturkan penyeragaman selera. Masyarakat yang terlalu munafik
untuk hal-hal yang dianggap ”tabu“. Mereka memberontak dengan setiap kekuatan
yang mereka miliki yaitu memilih etika PUNK
sebagai jalan hidup mereka. Penampilan mereka dan cara hidup mereka sebagai
counter culture terhadap penyeragaman selera. Sebagai manusia biasa dan
makhluk sosial yang punya perasaan, mereka memilih punk bukan untuk pelarian semata tapi self diffence mereka terhadap serangan-serangan pengekangan
ekspresi diri (offence of cultur
mainstream), penyeragaman selera, dan kultur budaya ”mapan“ yang di
ciptakan oleh mayoritas masyarakat.
Rocky dan Leo bukanlah pemuda-pemuda
yang lari dari tanggung jawab. pemuda yang cengeng ato masih menjadi benalu
bagi orang tua mereka. dengan etika DIY (do
it yourself/berdikari) dan prinsip yang mereka miliki memberikan sesuatu
yang berarti dalam hidup mereka. Rocky adalah pemuda yang menjadi tulang
punggung keluarga, doi merantau ke timur Indonesia tepatnya di Mataram NTB dan
mencari kerja. Sekarang dia bekerja di salah satu instansi pemerintah, sorenya
mengurus usaha kreatif dengan temannya. Sedangkan Leo adalah seorang mahasiswa
salah satu perguruan tinggi di Yk, yang sangat sadar dan sangat mencintai
keluarganya. Mereka memilih punk bukan
karena terpaksa atau sekedar ikut-ikutan saja, punk bagi mereka cara menyikapi hidup dengan tidak tergantung
kepada orang lain dengan terjemahan yang sangat sederhana yaitu mandiri.
Hari-hari mereka pun tidak
selalu berpenampilan punk saja. Hari
biasa mereka berpenampilan layaknya orang normal laennya. Mereka mempunyai jadual
yang rutin seminggu sekali, untuk melepas kepenatan dan bercanda tawa di sudut
kota tiap malam minggu mulai pukul 10 malam. Disaat anak-anak muda yang lain
lebih memilih pub atau tempat hiburan
lainnya. Mereka memilih trotoar atau emper took sebagai tempat mereka
berbaur bersama dengan kawan-kawan street
punk mataram yang juga masing-masing
dari anak-anak punk ini mempunyai
profesi yang berbeda di keseharian mereka. Ada yang bekerja sebagai karyawan
swasta, mahasiswa, tukang tato, pelajar, pengusaha kreatif dll. Berdasarkan
pengalaman saya ke spot dimana mereka
sering nongkrong, ternyata mereka adalah sosok-sosok yang sangat humoris
bersahabat dan cerdas, beda banget dengan kesan dari luar yang terlihat sangar
dan menyeramkan, perasaan mereka lebih lembut dari salju sekalipun (aaah yang
ini lebuuuy).
Disaat hantaman labelisasi dan
pencitraan ga berimbang oleh media dan golongan masyarakat yang mempunyai
ideologi ”mapan”. Mereka di jadikan tumbal dari “kegagalan” sistem penerapan
budaya normal yang di dengungkan masyarakat umum dan pemerintah. dan membuat
golongan ini (punk) sebagai budaya
yang tidak diinginkan karena merupakan budaya impor dari luar (baca: England). Hal
ini menjadikan mereka menjadi pribadi-pribadi yang terkekang kebebasan ekspresinya
dalam berpenampilan, oleh masyarakat yang menjunjung norma dan adat istiadat
ketimuran (katanya sih!). Padahal menjadi punk
bukan bagaimana kamu harus mirip menjadi punkrock
star, tapi bagaimana kamu menghilhami diri, menggali potensi yang ada, pede
dengan DIY yang digenggam.
Dan jika diambil benang
merah dari ”kegagalan” budaya normal tadi, indikatornya bukan terletak pada
bagaimana cara berpakaian anak-anak ini. Tapi kemampuan generasi muda itu
memahami dan menyerap setiap budaya dari luar, dan di terjemahkan ke dalam
ruang berpikir yang luas. Tapi akhirnya kemunafikan masyarakatlah yang
tidak memberikan ruang untuk memberi kebebasan berekspresi. Berpenampilan aneh,
seronok = sesuatu yang tidak baik dan akan di cap sebagai minor personal. Jika kita berpikir legowo dan mau terbuka dengan
lapang dada, bukankah ”kemandirian” generasi muda yang menjadi modal awal suatu
bangsa, selain faktor yang lain.
Standar budaya mapan yang diterapkan
oleh kalangan mayoritas yang cenderung tekstual, akhirnya menimbulkan
pengekangan-pengekangan yang bersifat parsial (secara keseluruhan) tanpa disadari
hal ini menjadikan individu-individu dalam suatu tingkat masyarakat menjadi
miskin kreasi dan tumpul estetika. Karena apa? Yup! Hal ini merupakan akibat
dari penjajahan selera oleh fundamentalis. Kaum fundamentalis ga akan pernah menerima
keanekaragaman yang dibawa dari hati masing-masing person.
Ada pengalaman estetika disini
ketika mereka berpenampilan punk, contohnya:
1. Sepatu boots
yang mereka gunakan sebagai bentuk penolakan terhadap aparat (polisi dan
tentara) yang menindas rakyat kecil.
2. Celana robek-robek sebagai bentuk anti
”budaya mapan“.
3. Rantai-rantai yang mereka gunakan sebagai bentuk
protes terhadap polisi.
4. Rambut mohawk
sebagai bentuk protes terhadap penyeragaman selera (standar model rambut).
5. Dan masih banyak pengalaman estetika mode
yang mereka gunakan, bukan semata hanya karena style tapi mempunyai makna estetika dibalik itu semua.
Masyarakat umum melihat anak-anak
punk hanya sebagai sampah masyarakat,
generasi yang termarjinalkan dll dll. Hal ini akibat dari citra yang dibangun
oleh media dan ulah dari para posser (anak-anak
yang sok berdandan ala punk) yang
berperilaku premis dan hippies yang
melakukan aksi-aksi yang sebenernya menghancurkan citra dari kebebasan dan DIY
(do it yourself) itu. Kenyataan yang
kita terima bahwa banyak yang terjebak dengan stigma negatif karena mereka
hanya mengikuti punk untuk kebutuhan
budaya pamer semata, tempat pelarian sehingga bersembunyi dibalik tirai
kebebasan dan menuhankan kebebasan yang sebebas bebasnya yang akhirnya
merugikan orang lain dan masyarakat pada umumnya. Sehingga menjerumuskan anak-anak
punk ini (posser) ke proses pengkerdilan makna dari kebebasan itu sendiri. So, coba artikan antara kebebasan dan
penghargaan terhadap kebebasan itu?
Hal ini yang sangat bertentangan
dengan prinsip yang dipegang oleh Rocky dan Leo dalam menjalani hidup sebagai punk yaitu punk = DIY = kebebasan yang bertanggung jawab = pengalaman estetika
= persaudaraan = cita rasa sosial yang tinggi = dan penghargaan terhadap
personal. Itulah yang menjadi jalan pikiran mereka saat ini. Karena mereka
hanyalah pemuda yang mencari arti kebebasan dalam nafas penghargaan terhadap
nilai kemanusiaan, bukan pelarian dan kebutuhan budaya pamer semata.
Ketika mereka berkeluarga nanti
mereka akan tetap menjadi punk, tanpa
harus berpenampilan punk. Karena
setelah itu punk bagi mereka ada di
hati dan perbuatan yang nyata. Punk =
DIY = kebebasan yang bertanggung jawab = persaudaraan = cita rasa sosial yang
tinggi dan = penghargaan terhadap personal.
U r fucking guys dude!!!
Cheers,
-GJG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar