Sabtu, 19 April 2014

ROCKY-LEO PUNKROCKERS KAWANKU


Tentang dua kawan yang pernah bermusik bersama kala itu dengan dengan alunan punk.

Rocky dan Leo adalah contoh kecil kenapa mereka harus memilih punk sebagai prinsip hidup mereka yang berlandaskan DIY (do it yourself). Mereka besar di masyarakat yang mengkulturkan penyeragaman selera. Masyarakat yang terlalu munafik untuk hal-hal yang dianggap ”tabu“. Mereka memberontak dengan setiap kekuatan yang mereka miliki yaitu memilih etika PUNK sebagai jalan hidup mereka. Penampilan mereka dan cara hidup mereka sebagai counter culture terhadap penyeragaman selera. Sebagai manusia biasa dan makhluk sosial yang punya perasaan, mereka memilih punk bukan untuk pelarian semata tapi self diffence mereka terhadap serangan-serangan pengekangan ekspresi diri (offence of cultur mainstream), penyeragaman selera, dan kultur budaya ”mapan“ yang di ciptakan oleh mayoritas masyarakat.

Rocky dan Leo bukanlah pemuda-pemuda yang lari dari tanggung jawab. pemuda yang cengeng ato masih menjadi benalu bagi orang tua mereka. dengan etika DIY (do it yourself/berdikari) dan prinsip yang mereka miliki memberikan sesuatu yang berarti dalam hidup mereka. Rocky adalah pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga, doi merantau ke timur Indonesia tepatnya di Mataram NTB dan mencari kerja. Sekarang dia bekerja di salah satu instansi pemerintah, sorenya mengurus usaha kreatif dengan temannya. Sedangkan Leo adalah seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Yk, yang sangat sadar dan sangat mencintai keluarganya. Mereka memilih punk bukan karena terpaksa atau sekedar ikut-ikutan saja, punk bagi mereka cara menyikapi hidup dengan tidak tergantung kepada orang lain dengan terjemahan yang sangat sederhana yaitu mandiri.

Hari-hari mereka pun tidak selalu berpenampilan punk saja. Hari biasa mereka berpenampilan layaknya orang normal laennya. Mereka mempunyai jadual yang rutin seminggu sekali, untuk melepas kepenatan dan bercanda tawa di sudut kota tiap malam minggu mulai pukul 10 malam. Disaat anak-anak muda yang lain lebih memilih pub atau tempat hiburan lainnya. Mereka  memilih trotoar atau emper took sebagai tempat mereka berbaur bersama dengan kawan-kawan street punk mataram yang juga masing-masing dari anak-anak punk ini mempunyai profesi yang berbeda di keseharian mereka. Ada yang bekerja sebagai karyawan swasta, mahasiswa, tukang tato, pelajar, pengusaha kreatif dll. Berdasarkan pengalaman saya ke spot dimana mereka sering nongkrong, ternyata mereka adalah sosok-sosok yang sangat humoris bersahabat dan cerdas, beda banget dengan kesan dari luar yang terlihat sangar dan menyeramkan, perasaan mereka lebih lembut dari salju sekalipun (aaah yang ini lebuuuy).

Disaat hantaman labelisasi dan pencitraan ga berimbang oleh media dan golongan masyarakat yang mempunyai ideologi ”mapan”. Mereka di jadikan tumbal dari “kegagalan” sistem penerapan budaya normal yang di dengungkan masyarakat umum dan pemerintah. dan membuat golongan ini (punk) sebagai budaya yang tidak diinginkan karena merupakan budaya impor dari luar (baca: England). Hal ini menjadikan mereka menjadi pribadi-pribadi yang terkekang kebebasan ekspresinya dalam berpenampilan, oleh masyarakat yang menjunjung norma dan adat istiadat ketimuran (katanya sih!). Padahal menjadi punk bukan bagaimana kamu harus mirip menjadi punkrock star, tapi bagaimana kamu menghilhami diri, menggali potensi yang ada, pede dengan DIY yang digenggam.

Dan  jika diambil benang merah dari ”kegagalan” budaya normal tadi, indikatornya bukan terletak pada bagaimana cara berpakaian anak-anak ini. Tapi kemampuan generasi muda itu memahami dan menyerap setiap budaya dari luar, dan di terjemahkan ke dalam ruang berpikir yang luas. Tapi akhirnya kemunafikan masyarakatlah yang tidak memberikan ruang untuk memberi kebebasan berekspresi. Berpenampilan aneh, seronok = sesuatu yang tidak baik dan akan di cap sebagai minor personal. Jika kita berpikir legowo dan mau terbuka dengan lapang dada, bukankah ”kemandirian” generasi muda yang menjadi modal awal suatu bangsa, selain faktor yang lain.

Standar budaya mapan yang diterapkan oleh kalangan mayoritas yang cenderung tekstual, akhirnya menimbulkan pengekangan-pengekangan yang bersifat parsial (secara keseluruhan) tanpa disadari hal ini menjadikan individu-individu dalam suatu tingkat masyarakat menjadi miskin kreasi dan tumpul estetika. Karena apa? Yup! Hal ini merupakan akibat dari penjajahan selera oleh fundamentalis. Kaum fundamentalis ga akan pernah menerima keanekaragaman yang dibawa dari hati masing-masing person.

Ada pengalaman estetika disini ketika mereka berpenampilan punk, contohnya:
1.     Sepatu boots yang mereka gunakan sebagai bentuk penolakan terhadap aparat (polisi dan tentara) yang menindas rakyat kecil.
2.     Celana robek-robek sebagai bentuk anti ”budaya mapan“.
3.     Rantai-rantai yang mereka gunakan sebagai bentuk protes terhadap polisi.
4.     Rambut mohawk sebagai bentuk protes terhadap penyeragaman selera (standar model rambut).
5.     Dan masih banyak pengalaman estetika mode yang mereka gunakan, bukan semata hanya karena style tapi mempunyai makna estetika dibalik itu semua.

Masyarakat umum melihat anak-anak punk hanya sebagai sampah masyarakat, generasi yang termarjinalkan dll dll. Hal ini akibat dari citra yang dibangun oleh media dan ulah dari para posser (anak-anak yang sok berdandan ala punk) yang berperilaku premis dan hippies yang melakukan aksi-aksi yang sebenernya menghancurkan citra dari kebebasan dan DIY (do it yourself) itu. Kenyataan yang kita terima bahwa banyak yang terjebak dengan stigma negatif karena mereka hanya mengikuti punk untuk kebutuhan budaya pamer semata, tempat pelarian sehingga bersembunyi dibalik tirai kebebasan dan menuhankan kebebasan yang sebebas bebasnya yang akhirnya merugikan orang lain dan masyarakat pada umumnya. Sehingga menjerumuskan anak-anak punk ini (posser) ke proses pengkerdilan makna dari kebebasan itu sendiri. So, coba artikan antara kebebasan dan penghargaan terhadap kebebasan itu?

Hal ini yang sangat bertentangan dengan prinsip yang dipegang oleh Rocky dan Leo dalam menjalani hidup sebagai punk yaitu punk = DIY = kebebasan yang bertanggung jawab = pengalaman estetika = persaudaraan = cita rasa sosial yang tinggi = dan penghargaan terhadap personal. Itulah yang menjadi jalan pikiran mereka saat ini. Karena mereka hanyalah pemuda yang mencari arti kebebasan dalam nafas penghargaan terhadap nilai kemanusiaan, bukan pelarian dan kebutuhan budaya pamer semata.

Ketika mereka berkeluarga nanti mereka akan tetap menjadi punk, tanpa harus berpenampilan punk. Karena setelah itu punk bagi mereka ada di hati dan perbuatan yang nyata. Punk = DIY = kebebasan yang bertanggung jawab = persaudaraan = cita rasa sosial yang tinggi dan =  penghargaan terhadap personal.

U r fucking guys dude!!!


Cheers,
-GJG-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar